Tasna Srikandi Betawi

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #4

BAB 3 - Baik-baik di Kantor

Mirna dan Vian gemetar, mereka sempat berpikir telah salah mengambil langkah. Mengingat Tasna adalah anak keturunan Gali, mereka takut Tasna akan brutal melawan untuk menghajar mereka.

“Mba Mirna, kenapa jadi seperti ini sama saya?” tanya Tasna, membuyarkan lamunan Mirna dan Vian. Tasna beralih maju mendekati Mirna dan memandang kedua bola mata Mirna lekat-lekat. Tetes demi tetes air es kapucino itu masih turun dari rambutnya

Mirna memundurkan kakinya ke belakang dua langkah. Takut-takut, Mirna pun bertanya, “Kamu ... betul keturunan cucu Kong Siman?” Mirna seolah mencari jawaban di mata Tasna. Mereka saling menatap seolah ingin bersiap-siap sebelum melepas ikatan yang pernah terjalin di antara mereka.

“Ya. Itu memang benar," jawab Tasna, pelan tanpa berkedip.

Mirna masih menggeledah indra penglihatan Tasna. Bola matanya bergerak-gerak penuh rasa tak percaya.

“Aku membenci para Gali.” Satu kalimat tegas keluar dari lisan Mirna. Dan itu sudah cukup menjelaskan bagi Tasna. “Ibuku mati," kata Mirna lagi. “Dan dia mati saat rumah kami dirampok kawanan Engkongmu!!” Kalimat selanjutnya bernada cepat dan meninggi, semakin memperjelas semuanya. Tasna yang begitu besar rasa toleransinya pun sangatlah memaklumi perasaan Mirna. 

Untuk sesaat, Mirna dan Tasna terdiam. Mereka masih saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya Mirna pergi meninggalkan Tasna. Tasna yang berdiri menyerana hanya bisa menatap lesu udara di depannya. Vian yang dari tadi berada di belakang kanannya pun melongok ke arah Tasna sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Vian berkata dengan santainya di dekat telinga Tasna. “Abangku mati dibacok kawanan Engkongmu. Paham?” Kemudian berjalan dengan masih bergaya santai khasnya seraya keluar dari Pantry.

Tasna tidak terlihat terkesiap. Namun sebenarnya dirinya cukup kaget dengan pernyataan mereka. Tak disangka, dua orang teman kerja Tasna terhubung dengan Engkong Siman karena sebuah masalah tertentu yang menimbulkan efek traumatis pada keduanya. Tasna tak bisa menyangkal mereka, memang dia sendiri pun membenci kelakuan kakek kandungnya itu.

Wagiman melihatnya dari balik pintu, dia menghampiri Tasna dan malah menendang antara paha dan betis Tasna dari belakang. Membuat kaki Tasna melemas dan kesakitan. Tasna menoleh. 

“Keluarga komplotan ya! Kerja di sini kamu mau apa? Jangan-jangan nanti mau mencuri?” ledek Wagiman, ia adalah seorang OB yang sebelumnya sangat ramah kepadanya. Ya, saat pertama kali diterima kerja di sana, Wagiman adalah rekan pertama yang paling semangat menyambut Tasna.

“Tuh dicariin Pak Surjono, ngomel-ngomel terus dia katanya kerjaannya ga kelar-kelar ga ada kopi," ucap Wagiman lagi. 

Tasna langsung teringat dengan pesanan kopinya Pak Surjono, Manajer IT perusahaannya itu. Segera ia pergi mencuci muka dan rambut bekas disiram es cappucino Vian tadi. Ia juga segera mengganti seragam OG-nya dengan seragam cadangan yang tersedia di ruangan khusus OG.

Tasna mengetuk pintu ruang kerja Pak Surjono.

"Masuk."

Mendengar Pak Surjono mempersilakannya, Tasna pun membuka pintu dan dengan hati-hati masuk membawa baki.

“Ini kopinya Pak Surjono,” kata Tasna, sopan, sambil menaruh cangkir kopi itu di depan meja Pak Surjono.

“Kenapa lama sekali, Tasna?”

“Tadi ... ada sedikit kecelakaan Pak.”

“Kalau lama kayak gini mending tadi saya minta tolong pada Anarti saja, haduh Tasna kok tumben sekali begini.”

“Maaf Pak, saya tadi ganti seragam dulu ke sini takut nanti bapak kebauan.”

“Ya sudah sana!”

“Panggil saya kalau butuh apa-apa lagi ya, Pak.”

“Ga akan! Saya butuh cepat. Mungkin hari ini saya suruh yang lain saja. Sudah sana saya mau fokus kerja lagi!”

Tasna pergi dari ruangan Pak Surjono. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepalanya.

"Dia tidak tahu kan? Tapi, kenapa sikapnya begitu ya padaku? Atau apakah itu sifat Pak Surjono yang asli? Ah, mungkin Pak Surjono lagi pusing dan capek aja sama pekerjaannya." Tasna mengusir kegamangan yang tengah menyelisik pikirannya.


Pantry

“Kenapa kamu gak ngelawan sih, Tas? Heran saya lihat kamu diam aja,” keluh Yumenah. Teman satu kelas Tasna semasa sekolah dasar dulu.

“Ya kan Babehku bilang kalau kita gak boleh bohong, Yuuumm ...," jawab Tasna, seragam OG yang kotor karena tumpahan es cappucino Vian tadi pun dimasukkannya ke dalam kantong plastik. 

“Bukan masalah bohongnya, Tas. Kamu ngaku turunan preman itu emang sih ye udeh bagus, tapi kalo kamu ditindas ya jangan diem aja dong!" ucap Yumenah lagi.

“Yuumm ..., Babehku selalu bilang kalo ajaran ‘Baik-baik’ tuh begituuuu Yuuumm.”

“Halah, kagak ngarti saya Tas sumpah demi Allah beneran dah saya kaga ngarti! Dari dulu kamu tu dieeeemmm aja ditindas, dipukulin. Kan gemes kita, Tas!!”

“Mereka kan korban dari Engkongku, Yuumm .... Aku empati dengan yang mereka rasakan. Kalau aku membalas mereka, apa gak nanti mereka malah makin membenciku? Iya, kan? Soalnya biar gimana pun aku ini membawa bendera kriminal di mata mereka. Gituuu ...,” papar Tasna seraya mengambil tas ranselnya dari loker lalu memasukkan kantong plastik isi baju kotornya itu untuk dibawa pulang. Tasna memakai tas ranselnya namun hanya digelantung saja pada salah satu bahunya. “Udah ya, aku mau pulang dulu. Assalammu’alaikum, Yum!”

Lihat selengkapnya