"Apa??! Babeh kalian udeh mati?!”
“Hu hu, iye Mpok ....”
“Tau dari mane? Kata siape?"
“Tadi pas kami mau berangkat sekolah, jalanan udeh dipenuhin ame mayat-mayat, Mpok," jelas salah satu anak laki-laki berseragam putih biru.
“Iye, Mpok. Aye kaget Babeh aye diiketin tangan kakinye pinggir jalan deket got arah sekolah aye juga hu hu ...,” terang anak perempuan kelas 4 SD dengan rambut kuncir kudanya itu.
Adapun yang lainnya ada yang menangis dengan menutup mukanya, beberapa sambil mengucek-ngucek mata, sebagian mengelap matanya berkali-kali dan selebihnya banyak yang mengelap ingus di hidung dengan punggung tangannya.
Tanpa pikir panjang, Tasna bangkit. "Kita coba ke sana," kata Tasna, ia langsung berjalan menuju jalanan salah satu arah sekolah anak-anak itu. Diikuti anak-anak, Iwan, Sodri, Aceng, Asep, Jajuli dan para Gali yang mendadak tobat lainnya.
Dan benar omongan anak-anak itu, Tragedi Petrus pada medio tahun lalu ternyata terulang lagi di tahun 1984 ini, padahal ketenangan hidup para Gali baru saja menyapa di beberapa bulan yang lalu. Ditemukan banyak mayat berserak di jalan-jalan setelah Tasna menyuruh anak buah Engkongnya berpencar ke arah sekolah anak-anak yang lainnya. Tak lupa Tasna menyuruh menghitung dan memeriksa mayat-mayat itu satu per satu.
Mereka pun bertemu di satu titik. Kemudian setelah mendapat informasi dari para Gali, Tasna menyimpulkan jenazah korban Petrus kali ini tak sebanyak dulu akan tetapi cukup menjelaskan siapa-siapa saja mayat-mayat ini.
“Rata-rata eni mayat adalah orang-orang yang pada sukarela nyerahin diri mereka atas dasar perintah Petrus nyang beredar waktu itu!” kata Iwan, menggeram.
“Iye sih, ini mah ketara banget dari ciri-cirinye,” Asep menimpali.
“Hu hu ... Babeeeh ... Babeeeh ...!” Beberapa anak-anak pun berlarian menuju jenazah Babeh mereka masing-masing yang bergeletakan dengan berbagai jarak. Mereka menangis keras sekali.
Tasna menghampiri salah satu anak terdekat yang sedang menangis memeluk jasad Babehnya. Tidak takut bila ada darah terciprat ke seragam OG-nya, Tasna memberanikan diri mengusap-usap punggung anak SD itu. Ia merasa kasihan sekaligus juga memahami betapa masih ada rasa cinta dan sayang antara anak itu dengan ayahnya meskipun tahu ayahnya adalah seorang Gali. Tasna merasa anak itu bernasib sama persis dengan dirinya, yang juga adalah anak dari turunan Gali. Benci tapi sayang. Tidak suka tapi cinta. Suka tapi tidak mendukung. Ah, Tasna sangat paham sekali tentang perasaan semua anak-anak ini.
“Kenape ... semua Gali yang pada nyerahin diri ujung-ujungnye ikut ditembak mati juga?!! Ini gila!!” Sodri pun ikut geram melihatnya. “Ape sih maksudnye ini semua? Ngalah salah, eh kabur juga salah, ya elah ...! Jahat-jahat bangeeeeet ye orang Petrus ini!! Kejem!"
Tidak ada yang salah dengan kalimatnya, tapi ucapannya Sodri membuat Tasna geli sendiri karena ia jadi berpikir.
Bukankah Bang Sodri pernah menusuk penumpang Bus di terminal sampai kehabisan darah lalu mati meski sempat dilarikan ke rumah sakit? Mengapa penjahat ikut teriak penjahat? Ataukah karena ia sudah bertobat karena tekanan dari Petrus makanya bisa berkata seperti itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu berputar dalam benak Tasna. Baginya Sodri itu, kontradiktif sekali. Tasna jadi tidak yakin dengan tobatnya anak-anak buah Engkongnya ini. Bisa jadi mereka terpaksa tobat karena ancaman dari Petrus saja.
Membuat Tasna jadi teringat akan berita yang pernah ia dengar di radio beberapa waktu silam. Bahwa Penembak Misterius tidak akan pernah mundur memberi ampun buat para Gali. Bisa dikatakan, surat edaran perintah waktu itu hanyalah bentuk kamuflase saja supaya Gali-Gali yang bersembunyi bisa keluar dengan sendirinya tanpa perlu capek-capek lagi di cari oleh pihak Petrus. Sungguh taktik yang licin sekali. Tak tertebak. Karena mereka tahu, tanpa kejadian penembakan ini sebenarnya para Gali tetaplah berjiwa Gali yang tidak mempunyai rasa takut sama sekali. Tasna mengakui, betapa banyak ia menyaksikan narapidana setelah keluar dari bui bukannya hidup lebih baik tapi justru tidak kenal kata kapok. Ya, mereka masih tetap terus beroperasi lagi, lagi dan lagi.
“Inikah alasannya mengapa diadakan tembak mati di tempat? Akankah supaya memberi efek jera dan memperlihatkan bahwa pemerintah tidak main-main lagi dalam memerangi penjahat?” Tasna termenung.
Sedikit-sedikit sepertinya ia mulai mengerti maksud dibalik semua kejadian ini. Namun begitu, titik terkecil dari relung hatinya sangatlah meronta-ronta. Bagaimana kebimbangan tidak merasuki dirinya? Sedangkan ia adalah cucu dari seorang Gali yang ditembak mati dengan sadis? Dan ia juga anak dari seorang ayah tak bersalah yang diculik, yang entah disiksa atau bahkan mungkin akan mati terbunuh di akhir takdir sebagaimana mayat-mayat yang telah menyerahkan diri ini?
Tasna bukanlah Gali, ia hanya anak keturunan Gali. Entah mengapa Tasna sendiri juga bingung, semua anak buah Engkongnya menganggap Tasna seolah-olah menjadi pengganti dari pemimpinnya. Selama ini Tasna mengira jika itu semua adalah sekadar bentuk penghormatan saja kepadanya. Tasna terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Sebab ia merasa kalau dirinya memang lumayan dekat dengan mereka, karena sejak kecil sudah kenal dan tidak mungkin Tasna tutup mata tentang mereka. Tasna juga hanya berempati pada mereka saja. Hanya mengerti keadaan sulit mereka sehingga tergerak untuk membantu memecahkan masalah. Itu saja. Tidak lebih dan tidak ingin diperlakukan lebih.
“Tapi ... mengapa?” Tasna terombang-ambing dalam kehampaannya sendiri. Ia tidak tahu harus memilih rasa macam apa yang sekiranya pantas bercokol di dalam dadanya kini. Ia juga terus berpikir tentang bagaimana ia harus menempatkan dirinya di antara semua orang yang berhubungan dengannya. Baik dari pihak Gali, korban Gali, maupun orang-orang non Gali yang ikut-ikutan membenci Gali.
“Na? Tasna? Tasna?” Iwan menyentuh lembut bahu Tasna, menyadarkan lamunannya.
“Ah, iya Bang? Maaf.”
Suara isak tangis anak-anak pun mulai menyeruak kembali ke dalam telinga Tasna.
Tasna pun bangkit dari duduk berjongkoknya. Dibantu oleh Iwan. Sadar bahwa dirinya telah ada di sini saat ini, mau tak mau ia merasa memberi arahan sementara adalah pilihan terbaik yang sangat wajar dan sangat manusiawi yang bisa ia lakukan.
Tasna mendekati Iwan, yang pernah menjadi kaki tangan Engkongnya itu.
“Kerahkan yang lainnya untuk urus jenazah orang tua anak-anak ini. Jangan sampai dibiarkan tergeletak begitu saja. Bila perlu minta bantuan warga setempat, RT atau RW buat gotong royong membantu keluarga anak-anak yang tewas," kata Tasna, lirih. Suaranya sedikit parau, ia ikut bersedih atas kejadian ini.