Sambil terengah-engah, dari kejauhan Tasna bertanya kepada Vian. “Mas Vian gak apa-apa?”
Vian terus menatap Tasna. Ia menutup mulutnya yang terbuka seraya mengusap air liur bercampur darah segar yang menetes di sana.
“Gapapa," jawab Vian, singkat dan cepat sambil mendesis memegangi perut dan wajahnya karena bekas dipukuli tadi.
Entah bagaimana hening menghinggapi mereka, membuat suasana canggung di antara keduanya kian mencekam. Padahal sebelumnya mereka adalah sesama teman kerja yang baik-baik saja, namun berita tentang tragedi Petrus tahun lalu mengubah sikap Vian menjadi buruk kepada Tasna.
“Kenapa kamu diam aja selama aku dan temen-temen sekantor ngerjain kamu?” Vian mulai merobohkan batas kekikukan di antara mereka.
Tasna terdiam, ia bingung bagaimana harus menjawabnya.
“Kamu kan tau lagi di-bully.”
Tasna masih membisu.
“Kenapa kamu diam aja? Kukira kamu beneran wanita lemah yang gak bisa apa-apa.”
Tatapan Vian dan Tasna saling bertemu. Satu sama lain masih terengah-engah, mereka berdua terasa lelah.
“Kaget banget, ternyata kamu bisa bela diri. Kukira kamu gak bisa.”
Kali itu, Tasna mulai membuka suaranya. “Mas Vian, tolong rahasiakan ini dari yang lain ya. Tolong banget ....”
Vian menoleh, matanya memicing keheranan ke arah Tasna. “Kenapa?” tanyanya.
“Yaaa .... Itu karena ....” Tasna menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal.
Hening menyapa mereka lagi untuk beberapa saat. Vian menyandarkan kepalanya ke belakang tembok. “Hei, ngomong-ngomong ... mengapa kamu tidak ditembak Petrus?”
“A-apa?” Tasna mempertegas pertanyaan aneh itu. Bukan karena Tasna tidak mendengarnya dengan jelas. Sebaliknya, ia mendengar pertanyaan Vian dengan sangat jelas sekali.
“Mengapa kamu tidak ditembak mati Petrus aja??!!” Vian memajukan tubuhnya ke depan sambil mengulangi lagi pertanyaannya dengan nada sedikit lebih tinggi.
Tasna menghela napasnya dalam-dalam. Ia mengernyitkan alisnya, ia masih tetap dalam keadaan terdiam dan membiarkan keringat bercucuran di wajahnya.
Vian menghempas badannya lagi ke tembok di belakangnya. Tangannya masih memegangi perutnya yang kesakitan.
“Bukankah orang-orang berpenampilan rapi tadi itu lebih preman dari preman yang ada di hadapan Mas Vian yang sekarang?” tanya Tasna.