Hari demi hari telah berlalu, setiap hari rutinitas Tasna tak ada yang berubah. Masih seperti biasanya; ia bekerja, kuliah, menjenguk putrinya, ditambah dirinya setiap malam senantiasa merindukan Babeh Yahya yang tak pernah diketahui rimbanya.
Tasna sudah 9 bulan lebih menyiapkan skripsinya. Mulai dari tema, judul, metode penelitian dan lain sebagainya. Teringat beberapa bulan yang lalu Tasna merasa apes sekali. Sungguh awal proses yang mencengangkan. Bagaimana tidak, ia kebagian mendapatkan seorang Dosen PA alias Dosen Pembimbing Akademik yang ternyata super killer, di mana satu kampus saja sudah tahu seperti apa dosen itu. Terkenal sangat galak dan pelit nilai. Namanya, Pak Donal Sinaga.
Memang, semua mahasiswa tidak ada yang bisa bebas memilih dengan dosen mana ia ingin mendapatkan bimbingan skripsi. Agar adil, semua sudah ditentukan secara acak dari pihak kampus Tasna sendiri. Tasna mengambil program kuliah karyawan yang tidak jauh dari rumahnya, yakni salah satu universitas swasta bilangan Jakarta Timur. Kampus itu memiliki sejumlah aturan proses skripsi yang sedikit jauh berbeda dibandingkan kampus lain.
“Pak, ini udah yang ke dua puluh kalinya Bapak menolak bimbingan skripsi saya yang ini. Bab terakhir mohon di-acc saja Pak. Mohon Pak kali ini diterima. Bagus tidaknya apa gak bisa di-acc ajaaa ... gitu, Pak.” Tasna mengiba saat ia bertemu Dosen Pembimbingnya di sebuah bengkel mobil pada hari Minggu. Sebuah pertemuan yang tidak disengaja. Ia terlihat sudah sangat putus asa sekali sampai berani berkata seperti itu.
Pak Donal mengambil tumpukan kertas yang Tasna bawa itu.
"Tempo lalu kan saya sudah bilang yang ini kesimpulannya banyak salahnya. Bagian akhir ini juga gak terlalu nyambung, gak cocok! Perbaiki lagi!” Pak Donal tetap berkeras hati, selesai bicara begitu ia langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. “Saya pamit dulu Tasna, ini kan hari Minggu kamu jangan maksa-maksa lagi.” Dan pintu mobil pun ia tutup.
“Tapi Pak ...."
Pak Donal menurunkan kaca mobilnya.
"Hari Minggu ini hari longgar rerata orang Indonesia, Pak. Senin sampai Sabtu kan Bapak sibuk terus tiap kali saya temuin.”
“Iya, tapi masalahnya hari Minggu ini saya udah terlambat datang ke gereja! Paham?! Gereja itu lebih penting daripada kamu. Kan, begitu?” Pak Donal langsung menutup kaca jendela mobilnya lagi.
“Pak! Pak! Pak! Tunggu dulu Pak ...!”
“Apa lagi?!” kata Pak Donal, saat ia sudah membuka sedikit kaca pintu mobilnya dengan sewot.
“Trus kapan saya bisa ketemu Bapak lagi?”
“Lo? Kamu kan udah catat jadwal ngajar saya, ya seperti biasa saja. Udah ya! Maaf udah terlambat banget ini saya lo. Anak istri saya udah di sana duluan.” Pak Donal langsung menancapkan gasnya, ia pergi begitu saja.
Tasna hanya memandang pilu mobil biru tua Pak Donal. Sebegitu sulitnya ia untuk bisa lulus sidang tepat waktu.
Pernah pada suatu waktu, Tasna bertemu Dosen Pembimbingnya itu di tempat kondangan yang tidak dikenalnya saat ia sedang berjalan kaki sepulang dari sebuah Mal dekat Tanah Abang yang paling hits di era '80-an bersama Enah. Waktu itu mereka ke sana selain untuk main-main juga untuk mencari beragam inspirasi, referensi dan informasi.
“Enah! Nah! Nah!” Ditepuknya cepat bahu Enah berkali-kali.
“Iya apa, Tas?”
“Noh, lihat, noh. Itu Pak Donal kan ya? Gak salah lihat aye kan ya, Nah?” tanya Tasna sembari memicingkan matanya ke arah yang ia maksud.
Enah langsung memfokuskan pandangannya juga ke arah yang Tasna tunjuk dengan jari telunjuknya itu.
“Iya bener itu Pak Donal. Gak salah lagi!”
“Temenin yuk, Nah!”
“Emangnya kamu bawa kertas-kertas penderitaan hidup itu, Tas?”
Tasna segera mengeluarkan lembaran skripsi itu dari dalam tasnya. Enah mengangguk-angguk.
“Hebat kamu Tas ke mana-mana selalu kamu bawa di dalam tasmu ya, ha ha ha.” Enah salut dengan sahabatnya itu. Tasna cengar-cengir saja mendengarnya.
Keduanya segera menyeberang dua jalur jalan raya melalui jembatan penyeberangan. Sebab lokasi Pak Donal mendatangi kondangan itu ada di seberang jalan sana.