Tasna bangun dan mengibas-ngibaskan tangannya yang kotor terkena debu. Kerikil-kerikil kecil terasa tajam menusuk kulit telapak tangan Tasna. Bahkan bokongnya pun terasa sakit. Namun Tasna tetap diam, ia masih menganggap hal ini tidak seberapa bila dibandingkan kejadian-kejadian perundungan yang dialaminya sebelum ini.
“Sorry gak sengaja, Tasna. Ha Ha Ha ...!” kata Uriman. “Anak Gali ya tetep aje anak Gali. Darah preman ya tetep aje lah darah preman. Ha ha. Gak akan mungkin bisa punya darah lulusan sarjana! Muke lu kejauhan, Tasnaaa!!! Jiaaaah ... Ha ha ha ...!” ujar Uriman, tampak sangat puas sekali meledek Tasna. Ia tahu bahwa skripsi Tasna dipersulit oleh dosen yang paling killer se-kampus.
Uriman menjentikkan jarinya yang menimbulkan bunyi. “Eksekusi!” perintah Uriman kemudian.
Ketiga orang temannya mendengarkan perintah itu, mereka segera membawa paksa Tasna masuk ke mobil Uriman. Sesekali mereka mendorong keras dan menyeret-nyeret Tasna.
Tasna terkejut di dalam mobil sudah ada mahasiswi cantik yang dulu pernah ia lihat di depan gerbang kampus. Mahasiswi baru itu berpakaian sangat kasual, sederhana sekali. Amat senada dengan warna tas selempang yang ada dalam pangkuannya.
"Anak baru yang kemarin itu kan? Kok dia bisa di dalam mobil Uriman? Ah bukan urusanku lah," bisik Tasna dalam hati. Ia tentu saja tidak bisa mendengar percakapan Uriman dengan abangnya perempuan ini di gerbang kampus tempo hari lalu.
Tasna ternyata di bawa Uriman ke dalam gedung bekas proyek gagal yang tidak pernah dijamah. Tempat itu amat penuh dengan barang-barang bekas konstruksi bangunan. Agak gelap, banyak sarang laba-laba dan berdebu cukup parah di mana-mana. Tempat itu kurang mendapat cahaya matahari meski di siang hari sekalipun.
"Syasya kamu duduk dulu di sini, ya. Jangan ikut. Ok," pinta Uriman, anak baru yang dipanggil Syasya itu pun tersenyum mengerti, ia mengangguk sambil memegangi tali tas yang berselempang di tubuhnya.
Uriman lanjut berjalan bersama tiga orang temannya yang memegangi Tasna. Mereka dan Syasya ada di lantai 3 sebuah gedung setengah jadi. Syasya duduk agak jauh dari posisi mereka berdiri. Kardus-kardus bekas, seng-seng karatan dan kaleng-kaleng besar itu sajalah yang menjadi sekat antara Syasya dan mereka.
“Gak ada lagi yang bisa nolongin kamu lo di sini?” Uriman menakut-nakuti. Sebuah gagang besi digerak-gerakkannya ke kanan ke kiri di depan Tasna.
Tasna tetap membisu. Namun ia memberontak saat dipegangi dengan sangat kuat oleh Peto dan Diki. Tasna ditekan dan dijatuhkan, ia dipaksa duduk di atas sebuah bangku yang ukiran dan warna kayunya sudah dimakan usia sambil pundaknya tetap ditahan kuat-kuat.
“Ucapin selamat dulu dong ke Uriman, anak mahasiswa abadi ini akhirnya lulus sidang skripsi juga tahun iniii looooo ...!!! Ha ha ha ha ...!” Teriakan Uriman sangat membahana, ia sekaligus menyindir Tasna. Juga ada perasaan bangga bahwa dirinya akan berhasil memenangkan taruhan untuk memacari adik temannya beberapa waktu lalu itu. “Lihatlah Tasna, kamu itu anak Gali maka tetap kelakuannya kayak Gali juga. Bodoh dan bodoh. Otaknya cuma bisa nyari kerjaan gak halal sambil bunuhin orang!”
“Memang betul Engkongku penjahat. Aku pun benci dengan kelakuannya itu. Namun aku hanya bisa berdoa. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Engkongku di alam sana. Aamiin ya Allaaahh ....”
“Pfftt ....” Uriman dan lainnya menahan tawa mereka sampai-sampai air liur muncrat dari bibir masing-masing, sebelum akhirnya mereka semuanya kompak tertawa lagi tergelak-gelak, “Ha ha ha ha ha ...!”
“Doa anak yang soleh eh yang solehah konon bakal sampe buat orang tua yang jahat macam Yakuza? Iya? Gitu? Ha ha ha, ya gak bakalan sampe laaaahhh! Kocak kamu Tasnaaaa, Tasna ....”
“Ampe sakit perutku ini bos ketawa mulu dari tadi. Hi hi hi ...," timpal Udin, ia tertawa sambil menekukkan badan memegangi perut.
Sebuah gagang besi diarahkan Uriman ke dagu Tasna. Ia mendongakkan dagu Tasna dengan gagang besi tersebut.
“Karena aku tidak akan ke kampus lagi. Ini balasan terakhirku buat kamu Tasna! Terimalah ini. Satu ... buat Bapakku yang kalian bunuh!! Hiyaaaaaahhh!!!”