"Tasna, aku sungguh gak menyangka ternyata kamu bisa melawanku. Uhuk uhuk uhuk.” Uriman masih shock dengan kejadian ini. Ia memegangi dadanya karena menahan sakit. Batuknya saja pun mengeluarkan darah dari mulutnya. Perlahan ia bangkit dari tempatnya terjatuh. Syasya maju memegangi lengannya, membantunya berdiri.
“Sekali lagi ... aku meminta maaf,” ucap Tasna.
“Hoeeekk ...!” Uriman tiba-tiba muntah. “Hoeekk ...! Ohok ohok, ohok ohok.”
“Maafin aku ... Uriman .... Aku ... aku gak bermaksud.” Tasna benar-benar merasa bersalah melihat Uriman muntah-muntah karena tendangannya tadi.
Benarlah kata Babehnya itu, diam memang lebih baik karena baginya perasaan merasa bersalah itu jauh lebih buruk daripada harus menang di atas penderitaan orang-orang yang lemah. Tapi Uriman memang sudah keterlaluan, ia bahkan mengancam ingin membunuh Babeh Yahya dengan tangannya sendiri. Mengingat itu, jelas saja Tasna melawan. Tasna segera memperbaiki perasaan keragu-raguannya itu. Kini Tasna yakin sekali kalau Uriman pantas mendapatkan pelajaran darinya.
“Tasna ... kenapa selama ini kamu diam aja dimusuhi? Kenapa?!”
Tasna jadi teringat Vian, pertanyaan itu juga pernah Vian tanyakan kepadanya.
“Karena ... Babehku mengajarkan aku untuk selalu berkata jujur dan mengalah apabila salah.” Jawaban Tasna membuat Uriman menelan ludahnya sendiri. Ia menunduk malu mendengar pernyataan Tasna tersebut.
“Saat orang yang menggangguku duluan mengatakan aku adalah keturunan Engkong Siman, keturunan Gali atau Engkongku adalah seorang Gali. Maka yaaa ... aku diam, aku terima segala resiko karena itu semua adalah memang benar. Aku harus jujur mengakuinya bahwa itu memang salah. Dan yah, memang salah kan? Aku merasa kasihan dan berusaha berempati pada perasaan korban-korban para Gali. Dari situ aku merasa harus membantu setidaknya menghilangkan perasaan luka para korban. Apalagi ... mereka tak tahu harus ke mana melampiaskannya selain hanya padaku.”
Udin, Peto dan Diki saling berpandang-pandangan mendengarnya. Penyesalan hadir di sela-sela kalbu mereka.
“Adapun berita tentang Babehku yang kamu sebut bakal menjadi pemimpin kejahatan selanjutnya, jelas aku tidak bisa menerimanya. Karena selama pem-bully-an ini, baru kamu seorang yang berani mengatai Babeh Yahya dengan saaaangat keterlaluan.” Uriman membisu. Ia menatap Tasna dengan perasaan sangat bersalah. “Ayo kita keluar dari sini. Semoga kamu udah puas ya, Uriman.” Tasna mengambil tas ranselnya. “Aku duluan,” ucapnya, lalu pergi.
Di gedung lantai 3 itu Tasna pun berpapasan dengan barisan anggota Geng Merah. Pakaian kaos merah mereka cukup mengusik pandangan Tasna dan mereka melewati Tasna begitu saja. Tasna menghitung jumlah mereka ada sembilan orang.
“Mau apa Geng Merah ke sini? Kan di sini cuma ada aku dan Uriman aja.” Tasna melongok. Dilihatnya Uriman yang masih sulit berjalan itu dikelilingi Geng Merah. Geng Merah itu berjalan memutari Uriman. Salah seorang dari mereka maju dan memulai pembicaraan.
“Halo Uriman, berani juga ya nyalinya jalan bareng adikku ke sini,” ujar seorang lelaki yang samar-samar wajahnya pernah Tasna lihat ini.
“Oh bukannya itu laki-laki almamater kampus sebelah? Yang sering anter si Syasya anak baru?” Tasna memperhatikan. Ia pindah mengintipnya ke belakang tong besar.
“Tahu dari mana aku ke sini?” tanya Uriman.
“Membuntuti adikku, apa lagi?”
Syasya tiba-tiba menunduk, ia merasa bersalah.
“Sini kamu Syasya, susah juga kamu ya dibilangin.” Perintah si lelaki itu.
“Aku gak mau Bang. Abang Soni kan tau Syasya suka sama Uriman.”
“Udah gila kamu? Papa gak setuju kamu sama anak itu kok. Ayo nurut.” Lelaki bernama Soni itu menarik tangan adik perempuannya ke belakang barisan.
“Hei ...." Melihat Syasya dibawa paksa darinya, Uriman berusaha berdiri tegak. “Bukannya kita udah taruhan? Kamu kan janji akan merestui Syasya denganku kalau aku lolos sidang skripsi tahun ini?”
Soni terdiam.
Uriman melanjutkan. “Aku berhasil lulus tahun ini. Janjimu harus ditepati.”
Soni mengangkat dagunya. Jelas ia tidak ingin terlihat sebagai seorang pecundang. Ia mengelak. “Mahasiswa abadi tetap saja Mahasiswa abadi. Mau kamu lulus tahun ini atau tahun kemarin pun. Predikat mahasiswa abadi gak akan pernah hilang darimu bukan?”
Uriman tersentak mendengarnya. Ia seperti dejavu, dirinya pernah mengucapkan hal yang hampir mirip seperti itu ke Tasna.
Anak Gali tetap saja anak Gali. Bodoh dan bodoh.
Soni menyuruh teman-teman gengnya memperketat kepungan. Diki, Peto dan Udin segera melindungi Uriman yang mereka tahu kondisinya sedang lemah karena dikalahkan Tasna tadi.
Tiga orang anak buah Uriman pun kalah, baik dari segi jumlah maupun kekuatan. Mereka bertiga mudah terpental hanya dalam satu dan dua kali libasan saja.
Tersisa Uriman seorang diri. Saat Soni maju dan hendak menghajarnya, Tasna datang mendorong Soni.
Soni tercengang. Perempuan tomboi di depannya menantang bara semangat dalam dirinya.
“Hei, Tasna!” Uriman memanggil sedikit berbisik. “Mungkin tadi kau beruntung melawanku. Tapi Soni itu juara emas bertahan pertandingan tinju tingkat nasional! Kau salah lawan, Tasna!”
Tasna tak menghiraukan peringatan itu.
“Kenapa kamu ikut campur heh perempuan? Kamu kan gak ada urusannya denganku!”
“Kamu sudah gak waras? Uriman saat ini sangat lemah. Harusnya malu kalau kamu bisa menang pas Uriman sedang lemah.” Tasna memancingnya.
“Prinsipku, aku gak akan menyentuh orang yang sama sekali gak ada urusannya denganku. Buang-buang waktu. Jadi kamu pergi dari sini, sana!!”
“Kamu aja yang pergi. Dari tadi aku kan di sini sama Uriman. Jadi ... kamu yang baru datang, pergi sana! Hajar lagi aja si Uriman kalau dia udah sehat bugar nanti! Hajar habis dia pas itu!"
Uriman melongo mendengar ucapan Tasna itu. Tasna malah tersenyum dan sengaja mengedipkan matanya ke Uriman. Udin terkekeh-kekeh dan segera diam kembali karena Uriman melotot ke arahnya.
“Sudah sana pergi! Toh Syasya adikmu ada di tanganmu kan? Untuk apa berkelahi?” imbuh Tasna lagi, melanjutkan.
Syasya sadar diri semua ini terjadi karenanya. Ia pun menarik lengan abangnya untuk pulang.
“Baik! Kali ini kamu kulepaskan Uriman! Kalau ketauan kamu nemuin adikku lagi. Mampus kamu!!"
Soni menarik kawanannya untuk pulang. Syasya terpaksa menuruti kemauan abangnya itu demi bisa menyelamatkan Uriman.
“Fiuuhh ... Untunglah pada pergi. Ya udah, aku pergi juga ya, Man. Assalammu’alaikum!” ujar Tasna, menghela napas.
“Wa’alaikumussalam.” Spontan Uriman menjawab salamnya. Uriman sampai memegangi bibirnya, ia takjub dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia mau menjawab ucapan salam Tasna. Tasna pun menghilang dari pandangannya.
Tasna sempat berpikir ....