Tasna Srikandi Betawi

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #12

BAB 11 - The Real Tasna

Tasna masuk ke dalam lift ia bermaksud ingin menuju kantin kantor yang ada di lantai bawah. Saat lift terbuka di lantai 5, seorang pemuda tampan berusia 24 tahun masuk ke dalam lift yang Tasna naiki itu. Tasna terperangah. Ia menilik sekitarnya namun tak ditemuinya orang yang mau naik lift ini lagi selain pria paling mempesona di kantornya itu. 

Semilir angin membawa aroma wangi parfum mahal dari tubuhnya tatkala pria tampan itu memasuki lift. Wangi itu melewati hidung Tasna kemudian menyihir hatinya.

“Oh, hai Tasna. Kita ketemu lagi ya. Kamu mau ke mana?” 

Tasna tidak menyangka dirinya akan disapa oleh orang yang menggajinya selama ini. Sebuah sapaan paling ramah dari si pemilik kantor membuat degup jantung Tasna menari-nari dengan cepat. Tasna tak bisa membayangkan kenapa dia harus berduaan saja dengan laki-laki tampan di ruang sempit ini. Ia mengutuki dirinya sendiri.

“Oh, saya ... saya mau ke kantin, Pak. Mau ambil termos Pantry, tadi orang kantin minjam.”

“Oh, gitu. Kamu sungguh pekerja keras sekali, ya.” Araz memasukkan kedua tangan ke saku celananya. Ia terlihat elegan dengan senyuman khasnya di mata Tasna. “Jangan lupa, nanti sore kamu ke ruangan saya,” ujarnya lagi. 

“Oh, i-iya Pak Araz. Insyaallah.” 

Araz tersenyum. Kemudian lift pun terbuka, ternyata Araz juga turun di lantai yang sama dengan Tasna.

“Saya duluan ya, Tasna.” 

“Oh, iya Pak. Mari.”

Tasna memperhatikan punggung Araz. Ia masih tidak menyangka pemilik perusahaan ini ternyata sangat ramah dan perhatian dengan para karyawannya. Apalagi pegawai rendahan seperti dirinya, membuat Tasna sedikit kagum dengan sifat baik atasannya itu. Araz berjabat tangan dengan pria-pria berjas hitam yang sudah lama menunggunya di lobi. Pastinya mereka adalah sesama pebisnis, Tasna menebaknya.

Tak lama Araz justru pergi meninggalkan tamunya itu, membuat mereka rela menunggunya lagi di ruang tamu lobi. Tasna yang penasaran ini terus memperhatikan ke mana Araz pergi, ternyata Araz menghilang saat berbelok ke ruang musala kantor yang letaknya ada di pojok barat dari lobi.

"Masyaallah, hebat. Pak Araz berani menyuruh tamu pentingnya menunggu?! Dia mendahulukan ibadah menghadap Tuhannya lebih dulu daripada menghadap relasi bisnisnya. Dia gak takut rejekinya hilang yah. Dia bisa yakin banget begitu ya, kalau masih rejekinya ya pasti tamu itu gak akan pergi sih. Beda sama aku, kadang aku sengaja mengulur-ulur waktu salat. Ah, habis dari kantin aku segera salat deh. Gak mau kalah salatnya ah ama orang kaya, kaliiiii aje kecipratan rejekinye hi hi," bisik Tasna dalam hati.

Usai dari kantin dengan membawa termos di tangannya, Tasna kembali lagi ke lantai atas—tempat Pantry yang khusus ada di lantai 9 Divisi IT. 

Sore itu pun tiba, tepat setengah jam sebelum jam pulang karyawan.

“Hei, Tasna. Kamu gak ke ruangan Pak Araz? Sekarang kan udah sore," sapa Vian, mengingatkan sambil asyik menghirup tehnya dengan santai. 

“Oh, sekarang?”

Vian mengangguk-angguk lambat dengan teh yang masih dia seruput di depan mejanya. 

Jamal bahkan memperagakan dengan tangannya seakan-akan ia mendorong Tasna ke ruang Pak Araz. Aji, Mirna, Gina dan lainnya menatap Tasna. Seperti ikut memberi dukungan meski tampaknya ada Mirna yang pura-pura. Mereka tahu Tasna sangat canggung karena Tasna terhitung OG baru yang tentu saja belum pernah kenal betul dengan pemilik kantornya ini. 

Tasna pun memberanikan diri mengetuk pintu Araz. 

TOK! TOK! TOK!

“Ya, siapa?” jawab suara dari dalam.

“Saya Tasna OG, Pak.”

“Oh, masuk Tasna. Masuk.” 

Tasna membuka gagang pintu itu dengan perlahan. “Assalammu’alaikum.” 

“Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh."

Tasna cukup terkejut dengan suara bahasa Arab bosnya yang fasih. Tak lupa ia menutup pintunya kembali dan mengangguk sopan.

“Silakan duduk dulu, Tasna.”

Tasna mengangguk lagi. Ia baru pertama kali ini memasuki ruangan sang Direktur, pemilik perusahaan ternama di ibu kota. Tasna pun terpukau dengan desain interior yang ada di dalamnya. Ditambah lampu-lampu hangat berbentuk unik di setiap sudut. Warna cokelat dan hitam mendominasi semua di ruangan itu.

Tasna celingak-celinguk mengagumi setiap inci dari kemewahan ruang kerja Araz, sampai-sampai kepalanya ikut berputar ke belakang hingga tubuhnya pun mengiringi. Tasna terhenyak. Ia memundurkan langkahnya saking kagetnya. Sebuah pajangan di dalam lemari yang kacanya terlihat tembus pandang berukuran tinggi dan besar itu memenuhi seluruh mata Tasna. Lampu-lampu berwarna hangat yang senada dengan warna cokelat kayu lemari itu menyorot indah tepat di atas tiap-tiap barang yang terpajang di dalamnya.

“Sen–senjata??” 

“Ah, itu ... koleksi-koleksi pribadi saya semua, Tasna.”

“O-oh ....”

Tiba-tiba ada rasa getir yang begitu menyeruak di ulu hati Tasna. Pahit. Senjata-senjata itu terlalu dalam mengusik alam bawah sadarnya yang sempat hilang. Trauma kehilangan sang kakek juga adalah karena semua senjata-senjata itu. Tasna masih terbengang. Ia membelakangi Araz. Dirinya mematung memandangi semua senjata-senjata menakjubkan di hadapannya ini.

“Itu semua hanya tiruan. Saya punya Om satu lagi yang bekerja di bidang kemiliteran Indonesia. Sejak kecil saya sering diajak Om ke tempat kerjanya. Di rumah juga sering dikasih mainan tembak-tembakan sama Om. Nah sejak itu, saya mulai gemar mengoleksi senjata-senjata tiruan. Kenapa? Kok kamu terkejut?"

“Ah, eng-enggak, Pak. Maaf.” Tasna berbalik. “Saya hanya kagum aja kok Pak. Bisa kayak beneran begitu ya he he ... Mirip ... kayak senjata asli. Maaf jadi norak begini sayanya ya, Pak Araz.”

“Ha ha, gapapa. Kantor saya ini sudah seperti rumah kedua bagi saya. Yah, begitulah. Ayo, silakan duduk dulu.” 

“Ah, baik.” 

“Jadi begini, maksud saya memanggil kamu itu ....” Araz membuka laci mejanya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah bungkusan kertas ala goodie bag berwarna cokelat yang bernuansa vintage ditaruhnya di atas meja.

“Terimalah ini, Tasna.” Araz menyodorkannya ke Tasna. “Ini semua rasa terima kasih saya sebagai pemilik perusahaan kepada kamu.”

Tasna meraih dan menggenggam tali tas kertasnya dengan erat. Tasna mengintip sedikit ke dalam, penasaran apa isinya. Ternyata ada kotak panjang lagi di sana.

“Kamu telah membantu melancarkan jalannya proyek yang sangat penting bagi saya dan perusahaan ini. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih, Tasna.” Araz berdiri mengulurkan tangannya. 

“Ah, bukan apa-apa kok Pak. Saya senang membantu.” Tasna spontan ikut berdiri, ia senang sekali bisa berjabatan tangan dengan bos tampannya itu.

Araz duduk kembali. Diikuti oleh Tasna. 

“Boleh saya tahu, kenapa kamu pandai sekali mengoperasikan komputer?”

“Kebetulan saya sedang membuat skripsi yang berhubungan dengan ilmu komputer, Pak.”

“Oh, ya? Menakjubkan sekali. Keren lo kamu. Ternyata saya punya OG seorang mahasiswi ya. Berarti kamu lulus wisuda dong ya tahun ini.”

“Kalau teman-teman seangkatan saya sudah pada lolos sidang skripsi dan bulan depan wisuda, Pak.”

“Lo, kamu gagal sidang?”

“Saya belum bisa ikut daftar sidang. Berkas-berkas saya masih tidak lengkap. Dosen Pembimbing saya juga sangat galak, beliau belum mau meng-acc hasil kerja skripsi saya, Pak.”

Untuk sesaat Araz terdiam. Ia seperti mengerti posisi itu.

“Kalau nilai IPK kamu sebelumnya?”

“Terakhir 3,98 saya, Pak.”

Lihat selengkapnya