Air-air kecil itu mulai membasahi bumi setitik demi setitik. Gerimis. Sayang, tak ada payung di apotek tersebut. Tasna menitipkan tas berisi skripsinya pada temannya yang bekerja di sana. Sebuah kotak susu formula bubuk rasa vanila madu yang baru dibelinya dibungkus lagi dengan plastik. Plastik isi kotak susu ia lindungi di dalam plastik lagi. Tasna menentengnya dan bersiap pulang.
Sesekali kotak susu terayun kencang, sesekali pula ayunannya berkurang. Tetesan-tetesan air hujan yang membasahi kantong plastik hitam itu membentuk irama kresek yang terdengar indah di telinga Tasna. Tak peduli bajunya basah, yang Tasna tahu kotak susu Tuti kecil itu harus terjaga luar biasa.
Tasna tetaplah Tasna, manusia biasa yang juga bisa merasa lelah dipermainkan dunia. Hatinya pilu, padahal tidak tertusuk sembilu. Bahkan golok terbang Engkong Siman saja meleset dari Tasna melulu. Hanya saja di balik tirai-tirai butiran hujan malam itu, tersimpan memori skripsi yang terlalu menyesakkan dadanya.
Tasna berjalan cepat. Lubang-lubang genangan air dengan tangkas ia lompati. Namun masa depan putri kecilnya selalu tergambar jelas di atas pinggan kekhawatirannya. Air matanya terkepang bersama barisan-barisan air hujan. Tasna tak kuasa menahan sedunya. Suara hentakan sepatu yang memecahkan genangan berpadu dengan isakan demi isakan.
Ya, tentang gelar sarjana di belakang namanya yang kian menjauh dari sesuatu bernama sekadar harapan. Tentang bagaimana dirinya bisa menghidupi Tuti yang kebutuhannya akan terus bertambah di tiap detik pertumbuhannya. Tentang kenapa Heri mantan suaminya tak bisa memberi nafkah yang layak untuk Tuti. Tasna semakin hanyut dalam rintihannya di malam itu.
Tasna berlari, ia berlari dan terus berlari mengusir sejibun sesak yang terus memberondongi sajak-sajak pikirannya. Tasna menerobos angin malam yang sangat setia dengan hujan dan petir. Dingin mulai menikam punggung dan sela rusuk-rusuknya. Namun kotak susu dalam plastik itu tampaknya merasa lega dalam pelukan Tasna.
Sebuah mobil tiba-tiba menurunkan kecepatannya, saat itu kondisi jalan raya cukup sepi dari kendaraan yang berlalu-lalang. Sang pengemudi mobil ini merasa penasaran dengan sosok wanita yang menurutnya sangat aneh hujan-hujanan di atas trotoar malam itu.
“Kok kayak kenal, siapa ya?” Pengemudi itu pun mengendarai mobilnya perlahan ke sisi kiri. “Eh, itu kayak Tasna.” Ia sengaja mendekatkan mobilnya hingga hampir sejajar dengan Tasna yang berlari. Sampai betul-betul yakin siapa yang ia lihat itu, ia pun membuka kaca mobilnya lalu memanggil.
“Tasnaaa ...!!”
Samar-samar Tasna tak percaya ada seseorang yang memanggil namanya di tengah hujan yang kian deras ini. Suara panggilan itu jelas kalah dengan irama hujan yang sedang turun. Tasna memelankan larinya. Memasang baik-baik telinganya lagi.
Sebuah mobil sedan Mercy Tiger biru tua mengerem tepat di depannya.
“Tasna!!”
Tasna memicingkan mata, ia melihat siapa yang melongokkan kepalanya dari kaca mobil itu. “Eh, Pak Araz?”
“Kamu ngapain hujan-hujanan?! Masuk sini ...!!”
Di antara percaya dan tidak percaya. Tasna terkejut setengah mati melihat pintu mobil depan terbuka untuk dia masuki.
“Kok bengong. Ayo cepat masuk dulu!”
“Saya basah kuyup, Pak! Nanti mobil Bapak basah!”
Tasna sangat tidak enak hati, ia takut merepotkan Araz. Ia juga malu. Bisa-bisanya dirinya ditemukan bos tampan itu dalam keadaan hujan-hujanan, buruk sekali.
Araz keluar dari mobilnya. Jantung Tasna merasa hampir copot melihat Araz yang gagah begitu gentle-nya melawan serangan hujan demi dirinya. Araz mengulurkan tangannya hendak menggenggam pergelangan tangan Tasna. Namun tangannya berhenti saat ia hampir menyentuhnya.
"Ah, maaf," kata Araz. Tasna bingung saat melihat ekspresi atasannya itu. Lalu Araz menyuruh Tasna masuk ke dalam mobilnya lagi. "Masuklah."
"Hmm ...."
"Ayo."
Tasna akhirnya pun masuk ke mobilnya dengan malu-malu. Lalu Araz berlari-lari kecil mengitari mobil untuk masuk ke sisi pintu sebelahnya lagi.
Saat pintu mobil ditutup, Tasna mungkin sudah tidak lagi berlari di tengah hujan tapi kini malah jantungnya yang berlari-lari di tempatnya. Tasna menggigil. Ia memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangan bersilangan di depan dada. Melihatnya seperti itu, Araz membelokkan badannya, ia mengambil sesuatu di kursi mobil belakang. Lagi-lagi aroma parfum elegan dari tubuh Araz menyapa hidung Tasna.
“Ini, sementara keringkan rambutmu dengan ini.” Araz menyodorkan handuknya kepada Tasna. “Tenang, handuknya bersih belum pernah saya pakai.”
“Terima kasih, Pak. Maaf saya merepotkan.”
Araz langsung menancapkan gasnya.
Sebuah mobil mewah bergaya klasik yang paling diidam-idamkan rakyat Indonesia pada masanya ini sudah bisa Tasna rasakan sekarang. Sambil mengeringkan rambutnya, Tasna berdecak kagum melihat desain interior mobil sultan Mercy Tiger Mercedes-Benz W123 yang harga barunya di banderol 35 juta(1) itu. Terutama jok kulit cokelatnya dan dashboard klasik-modern dengan sentuhan warna hitam dipadu tekstur serat kayu berwarna cokelat tua. Amat serasi dengan warna dominan cokelat muda di seluruh interior mobil ini.
“Rumahmu di mana, Tasna?”
“Dari sini udah mau deket kok, Pak. Tinggal lurus aja terus ada pertigaan nanti belok kiri.”
“Suara kamu kok bindeng kayak abis nangis. Kamu hujan-hujanan itu sambil nangis?”
“Ah, bisa aja, Pak. Enggak nangis, ah.”
“iya. Setahu saya hanya orang yang lagi merana aja kan yang hujan-hujanan malam-malam?”
Tasna sedikit terkekeh.
“Kamu ... lagi ada masalah?”
Tasna diam membisu.
“Apa ... kamu mikirin skripsimu?”
Tasna menoleh dengan cepat. Karena tak tahan melihat cahaya ketampanan yang menyorot tajam, Tasna memutarkan kembali kepalanya.
“Sepertinya saya bisa menebaknya ya walaupun kamu tidak menjawabnya,” ucap Araz. Ia mengira buang mukanya Tasna tadi adalah karena reflek malu mengakui pertanyaannya mengenai skripsi.
“Nah, itu tu Pak rumah saya.” Tasna mengalihkan topik pembicaraan. Adalah suatu kebetulan yang tak dibuat-buat, sebuah rumah bergaya adat Betawi terpampang di depan mata.
“Oh, kamu orang Betawi asli? Wah kok gak kelihatan logat Betawinya sih kalau lagi ngomong.”
“Itu cuma di kantor aja, Pak. Sama di kampus kalau suasana lagi formal-formalnya. He he.”
“Jadi kayak fleksibel gitu ya?”
“He he betul, Pak!”
“Nah, sudah sampai rumah.”
“Ha-ha-ha-haaaaatsyiimmm ...!!!”
Araz buru-buru memberikan dua lembar tisu kepada Tasna. Tasna segera mengambil dan mengelap hidungnya. Rasanya ia ingin sekali membenamkan mukanya ke dalam bumi sedalam-dalammya.
“Aduuhh, malu-maluin banget sih depan Pak Araz!! Hodob(2) banget!!" Keluh Tasna dalam hati sambil menyelimuti dirinya dengan handuk kering pemberian Araz.
“Gak apa-apa. Besok kalau kamu kurang enak badan istirahat saja di rumah dulu ya. Jangan dipaksakan.”
“Makasi banyak, Pak. Kalau gitu saya pamit pulang dulu.”
“Tunggu! Tunggu!” Araz mencegah Tasna yang hendak membuka pintu mobil. “Di luar masih deras banget hujannya. Sebentar saya carikan payung dulu. Sepertinya saya ada menaruhnya di kursi belakang.” Setelah ia cari-cari, “Lo kok gak ada ya.”
“Gapapa Pak. Jangan repot-repot, saya bisa kok lari-lari nerobos hujan lagi.”
“Aha! Ternyata payungnya jatuh di kolong kursi belakang. Wait ya!” Araz keluar dari mobilnya, air hujan pun langsung menyerang tubuh dan kemeja kerjanya. Ternyata Araz mengambil payung lewat pintu di kursi belakang mobil karena ia kesulitan jika mengambilnya dari dalam seperti tadi.
Payung berwarna senada dengan mobilnya itu dibukanya lalu Araz lanjut membukakan pintu untuk Tasna dengan memegangi payung itu agar Tasna tidak kehujanan saat keluar. Tasna tercengang bengang dibuatnya. Bagaimana tidak, dirinya diperlakukan bak Ratu Elizabeth II yang dipayungi saat turun dari kendaraan kerajaan.
“Sini payungnya saya saja yang pegang Pak. Saya gak enak ama tetangga.” Kata Tasna, merendah. “Iyalah janda muda pulang hampir tengah malem udah gitu dianterin sama laki-laki coba? Kebayang besok bisa jadi bahan gosip sekampung ini mah gawat, gawat, gawaaatt ...," timpal Tasna dalam hati.
“Oh, oke kalau begitu.”
“Sini Pak Araz, saya anterin dulu sampe pintu mobilnya ya Pak, biar Bapak juga gak basah kuyup.”
“Wah, terima kasih Tasna.”
“Kebalik! Saya lah Pak yang harusnya berterima kasih. Ya udah besok insyaallah saya balikin handuk sama payungnya.”
“Gak perlu, saya ada banyak di rumah kok, Tasna.”