“Tas, Tas, Tas, Tas!” Yumenah berlari-lari menuju Pantry. “Gosip kalo kamu balikin sesuatu ke Pak Araz itu tuh udah menyebar ke mana-mana tau!” serunya sambil memegang pundak Tasna yang sedang mencuci cangkir-cangkir.
“Memangnya gosip macam apa sih?”
“Kayak kamu gak tau aja sih, Tas. Semua perempuan di sini kan pada demen ame Pak Araz, Tas.”
“Iya, terus kenapa? Apa hubungannyah samah sayah, Yuuuumm ....”
“Ih, si Tasna. Semua pada iri kamu bisa dipinjemin barang pribadinya Pak Araz! Gimana sih. Yang tadi itu lo.”
“Ah, ada-ada aje ah. Ha ha.”
“Aaahh ... si Tasna ga ngarti-ngarti. Ih gemes aku sama kamu tu, iiihh ...!!"
“Ha ha. Yuuum, Yum. Jangan yang enggak-enggak ah.”
Yumenah geregetan dan pergi begitu saja dari Pantry. Wagiman seperti biasa sibuk mengurus sampah-sampah. Adapun Anarti dan Sumarni dari tadi hanya diam merenung dengan pikiran mereka masing-masing.
“Aku mikirin si Mbok di kampung, Nartiiiii ....”
“Kenapa memangnya Mba? Si Mbok sakit?”
Sumarni mengangguk lemah.
“Maafin aku ya, Mba, aku ndak bisa bantu kamu dulu karena aku juga sama ini lagi sedih mikirin utangku, Mba.”
“Iyo, aku wes ngerti kok.“
Mereka berdua saling menopang dagunya masing-masing. Tasna mengelap tangannya yang basah dan pergi ke lokernya.
“Mba Anarti, Mba Sumarni ... ini aku ada sedikit simpenan.” Diberikannyalah uang 25 ribu rupiah(1) kepada Sumarni dan juga Anarti. "Aku gak tau berapa utang mba Anarti. Aku juga gak tau berapa biaya yang dibutuhkan si Mbok di kampung. Tapi semoga ini bisa lebih dari cukup ya.”
Sumarni dan Anarti menganga melihat uang sebesar itu justru dari orang yang sering dirundung oleh mereka. Seperti ketiban rejeki nomplok, tentu saja hal itu membuat mereka menangis. Mereka terharu sekali. Bahkan Sumarni tanpa kata lagi ia langsung memeluk Tasna. Tak sengaja Yumenah datang lagi ke Pantry namun ia berhenti di depan pintu saja demi bisa menyaksikan mereka.
“Ya Allah, Tasnaaaa .... Uang ini banyak bangeeeettt Tasna! Makasi Tasnaaa ... sekarang aku bisa bantu ngobati si Mbok.”
“Huwaaaa ... maapin aku ya, Tasna. Selalu membenci kamu dan menyiksa kamu tapi selama ini kamu gak pernah balasin aku hu hu. Malah kamu balas dengan ngasi kami begini pas kami lagi butuh-butuhnya, lagi di titik sulit. Kamu orang baik, Tasna,” tambah Anarti. Raut wajah penuh penyesalan terukir murni di sana.
“Iyo, sekarang aku ngerti kenapa Mas Vian sampe berubah sikapnya sama kamu. Kamu baik Tasna. Hu hu maafin aku juga ya Tasna ... Diikhlasin yo Tasna yo.”
“Iya Mba, sama-sama ya. Gak perlu diganti ya, Mba.”
“Huwaaaaa .... Mana ga usah diganti lagi katanya. Aku jadi makin merasa bersalah niiiihhh sama kamu Tasnaaaaa ...!" Anarti malahan ikut-ikutan memeluk Tasna.
Mereka bertiga saling berpelukan.
“Uang itu dari Pak Araz, ah gede banget uangnya sebenarnya kebanyakan buat aku. Yah gak ada salahnya kan bagi-bagi rejeki lagi? Toh rejeki itu dari Allah, aku juga dapatnya dari dikasih orang kan atas izin dari Allah juga. Nolongin kan, pahala." Tasna tersenyum usai berbisik dalam hati.
“Masyaallah si Tasna. Bener-bener ye die itu atinye mulie banget. Hebat. Salut aku.” Yumenah tersenyum dari balik pintu Pantry. Ia mengusap setitik air di ujung matanya, karena dirinya menjadi saksi bagaimana Tasna di-bully terus di kantor ini.
Wagiman yang baru saja datang sambil bersiul, kaget melihat dua temannya berpelukan dengan orang yang sama-sama mereka benci.
“Lah?” Wagiman melangkah. Siulannya terhenti. "Lah, kok? Lah? Kok?"
Yumenah menahan tawanya karena melihat ekspresi bengong Wagiman yang lucu sekali. Dirinya syok melihat fakta baru teman-temannya di Pantry.
Sadar mereka dilihati Wagiman dan Yumenah, pelukan itu mereka lepas.
“Sini kamu Wagiman! Minta maaf juga sini kamu sama Tasna!"
“Mba Sumarni?! Ih, seriuuusss ini begini ...???”
“Lah iyo, kita semua selama ini dibutakan. Biarlah yang Gali kan Engkongnya bukan cucunya, kamu gimana sih. Otakmu tu yo dipake to sekali-kali,” papar Sumarni dengan wajah judes seperti biasanya.
“Lah, iyo yo.” Wagiman mengusap-usap pelan rambut belakang kepalanya.
“Ha ha ha aduh ga tahan aku. Maap-maap jadi ketawa inih yak kita," ujar Yumenah, tertawa. Mendengar Yumenah mentertawakan mereka, mata mereka semua jadi salah tingkah. Tidak jelas mau melirik ke mana. Ya, mereka malu di depan Yumenah teman SD-nya Tasna yang selama ini pastinya lebih tahu sifat asli Tasna seperti apa dibanding mereka. “Oh iya, tadi aku ke sini mau ngapain ya, ha ha aduh ... ketawa mulu sih ya jadi lupa pan ah, elah."
“Coba diinget-inget dulu, Yum,” usul Tasna.
“Ha ha, iya iyaaa baru inget. Tasna, kata Mba Mirna kamu disuruh Pak Araz ke ruangannya.”
Anarti dan Sumarni saling menatap.
“Sekarang?” tanya Tasna lagi.
“Iya, kayaknya sih sekarang.”
Tasna pun pergi menuju ruangan Pak Direktur. Ia menganggukkan kepala dengan sopan sebelumnya kepada Mirna. Mirna masih menatap Tasna tanpa senyum. Vian mengedipkan mata ke Tasna sambil bibirnya menggerakkan sebuah kata 'Semangat' tanpa suara.
Diketuknyalah pintu Pak Araz.
“Siapa?”
“Tasna OG, Pak.”
“Oh ya masuk, masuk.”
“Assalammu’alaikum, Pak.” Tasna mengangguk sopan.
“Wa’alaikumussalam. Ah, Tasna! Sini, sini!”
Tasna menarik salah satu kursi yang tersedia di depan meja kerja Araz kemudian ia duduk. “Hmm ... Ada apa ya, Pak?”
“Di sela-sela pekerjaan saya, saya menemukan jalan buntu nih, Tasna. Saya otak-atik sendiri tapi gak bisa-bisa dari tadi. Saya gak tau lagi harus minta tolong siapa. Jadi yang ada di pikirn saya ya kamu. Ah, bisa nih Tasna nih bantuin saya. Gitu."
“Kalau dengan Mas Vian, Mas Aji? Sudah minta bantuan mereka?”
“Oh, mereka sudah pernah saya pintai tolong tetap saja tidak bisa, Tasna. Justru kamu ini direkomendasikan oleh Vian lo."