Pukul 20.30 WIB
Tasna berdiri di depan lobi kantor. Sesekali ia melirik jam tangan cantik pemberian Araz waktu Tasna mendapatkan penghargaan pertamanya sebagai OG yang banyak membantu dulu. Beberapa orang yang lewat selalu menyapa Tasna sambil menganggukkan kepalanya amat santun. Beberapa OG atau OB yang lain justru sudah lama membuat fans club pun menyapa Tasna dengan sangat sopan. Ya, mereka banyak yang nge-fans dengan Tasna karena kini Tasna menjadi inspirasi buat mereka. Setiap kali Tasna membalas dengan senyuman, mereka menjerit dan jadi heboh sendiri.
“Kyaaa ...! Kereeennn Bu Tasna!”
Ya, begitulah teriakan histeris rerata para OG dari divisi lain. Tasna bagaikan selebritas di mata mereka. Bahkan menurut mereka, baju kerja yang Tasna kenakan membuat Tasna semakin cantik dan berwibawa.
Angin di malam itu terasa sepoi-sepoi menerpa Tasna. Sehelai rambut pendeknya ada yang berterbangan di depan daun telinga, menyebabkan rasa yang sedikit gatal di sana. Tasna meraih dan memasukkan rambutnya ke belakang daun telinganya itu. Lalu ia memandangi langit malam. Awannya kelabu, tak ada bintang-bintang berani bertebaran di sekitarnya. Sebutir air tiba-tiba menyapa lembut pipi Tasna. Disusul butiran air kedua, ketiga dan keempat.
Tasna menyambut sapaan indah dari langit itu. Tangan kanannya sengaja ia tengadahkan. Tasna menikmati sekali sentuhan butiran-butiran air yang terlepas dari langit itu di kulitnya. Ia tersenyum memandangi cipratan air hujan begitu mempesona menari-nari di atas tangannya yang menengadah. Selayaknya sebuah panorama film, telapak tangan itu berhasil memutarkan kembali isi memori Tasna yang telah lalu. Tentang bagaimana ia dulu di-bully di kantor dan di kampus, sampai ia bisa duduk di meja kerja sebagaimana orang-orang kantoran yang lainnya.
“Bu Asisten Manajer!”
Tasna menoleh, seorang satpam memanggil dan memberikan kursi lipat kepadanya. Ia sempat bingung kenapa satpam sudah memanggilnya seperti itu.
“Sudah sejauh mana tersebar? Ya ampun,” kata Tasna dalam hati.
“Hujan, Bu. Udah malem taksinya belum datang juga ya, Bu?”
“Iya nih Pak Cecep. Waduh makasi kursinya ya. Sebenernya gak perlu, saya bisa berdiri kok.”
“Ya ... abis Ibu menolak menunggu di dalam. Kan pegel juga diri lama di luar.”
“Ambil lagi kursinya Pak Cecep, saya jadi gak enak ah kalo dilihatin yang lain.”
“Oh, gitu ya Bu? Siap, Bu.”
Sepeninggal satpam itu, suara klakson mengagetkan Tasna. Sebuah mobil sedan Mercy Tiger biru tua berhenti di depannya. Tasna hafal benar mobil siapa itu.
“Pak A–Araz?” lirih Tasna terkejut sekali.
Araz keluar dengan payungnya. Ia berhenti dengan jarak satu langkah saja di depan Tasna.
“Ayo,” ucap Araz sambil meluruskan tangannya dan memayungi Tasna. Membiarkan dirinya terkena terpaan hujan dari atas.
Araz terdiam, ia menunggu jawaban Tasna. Seandainya suara jantung bisa terdengar melebihi suara hujan, mungkin saat itu Araz sudah mendengar jantung Tasna yang sudah tak karuan debarannya.
“Bu Asisten Manajer?!” Araz melongokkan kepalanya ke bawah payung. Ia melakukan gerakan seperti bayi laki-laki tampan yang sedang belajar permainan cilukba. Ya, Araz sengaja mengubah wajahnya jadi imut.
“Ha ha.” Tasna akhirnya tertawa juga. Warna merah pun hinggap di pipinya. Ia masih tak terbiasa dengan panggilan yang seperti itu.
Tak jadi menunggu taksi yang sangat lama itu, Tasna pun berjalan masuk ke mobil Araz sambil dipayungi.
“Waktu saya masih jadi karyawan biasa, saya pulang itu naik angkot dan pas dekat rumah barulah saya jalan kaki. Eh, sekarang bisa ya saya pakai taksi.”
“Alhamdulillah."
"Apalagi ... saya bisa diantar pulangnya sama bos saya sendiri dengan mobil mewah ini."
"Alhamdulillah. Apalagi nanti, bisa tiap hari kita pulang bersama insyaallah."
Tasna langsung menoleh ke Araz yang sedang menyetir. Ia terkejut dengan ucapan Araz itu.
“Pak, apa ...."
"Apa, apa?"
"Ini serius Pak?"
"Serius tentang apa?"
"Bapak masih waras kan?"
"Waras alhamdulillah. Sehat lahir batin. Ada apa kok tanya gitu?"
Tasna tak menjawab. Ia menoleh memandangi kaca jendela mobil yang terkena air hujan. Suara hujan dan suasana hati Tasna menyatu malam itu. Ditambah kemewahan mobil Araz makin menambah kenikmatan duniawi yang tiada tara. Kenyamanan itu membuat pikiran Tasna menerawang. Ia mengingat kembali kejadian di siang hari tadi.
“Dan ... seperti yang kalian tahu tentang kejadian Aji tahun lalu, tittle sarjana itu tidak menjaminkan kepintaran seseorang. Tidak juga menjamin etikanya saat bekerja. Saya dengar Tasna banyak mengalami perundungan di kampusnya termasuk Dosen Pembimbingnya sendiri. Tanpa tittle, bagi saya bukan masalah. Jujur itu bukan hal utama yang saya cari di perusahaan saya ini. Siapa pun bisa asalkan mampu berkompetisi dengan sehat. Dan Tasna sudah membuktikan semua itu pada kita. Semua juga sudah tahu itu bukan? Maka bismillah. Tasna menjadi Asisten Manajer IT kita mulaiiiii ... hari iniiii ...," seru Araz seraya menarik kain yang menutupi meja kerja baru yang ia persembahkan untuk Tasna. Bunga-bunga mawar yang ada di atas meja sampai berjatuhan beberapa di lantai.
Tasna terkejut bukan main. Ia menangis. Bahagia menyelimuti hatinya. Semua bertepuk tangan dan mengucapkan selamat pada Tasna.
“Selamat ya, Tasna.”
“Tasna, selamat!”
Namun semua mendadak hening. Suara tepukan tangan kian memudar dari pendengaran tatkala Tasna dan semuanya membaca tulisan di kartu ucapan berukuran lumayan besar yang tegak berdiri di atas meja kerja baru Tasna itu.
Tulisan ucapan selamat kenaikan jabatan disertai ‘penembakan’ bos yang tak terduga. Siapa pula yang tak terkejut?
“Wah ha ha, selamat! Selamat Pak Araz dan Tasna! Selamat!” Jamal menjadi orang pertama yang menyadarkan semua orang bahwa keheningan ini tidak boleh terlalu lama. Ia bertepuk tangan.
Vian yang memang dasarnya mudah heboh pun tak sulit untuk membangkitkan suasana. “Tasnaaaa!!! Ayo dong diterima lamarannya Pak Bos, Tasna! Setuju ya temen-temen?? Tasna terima! Terima!! Terima!!” teriaknya sambil tepuk tangan.
Mau tak mau semuanya pun jadi ikut bertepuk tangan, terbawa suasana Vian. Mirna terlihat setengah hati melakukannya. Semua orang tahu bagaimana perasaan Mirna pada Araz. Namun mereka jauh lebih mengerti perasaan sesungguhnya Bos mereka.
“Haaahhh ...,” Tasna menghela napas panjang. Semua ingatan di tempat kerja itu masih mendebarkan buat Tasna.
“Ada apa? Kok melamun?” Araz menegurnya.
“Hm ... apa tidak terlalu cepat Pak?” tanya Tasna. Ia tampak ragu, tidak mungkin rasanya seorang Araz bisa jatuh cinta secepat itu dengannya yang tomboi ini. “Sejak kapan Bapak suka sama saya?” tanya Tasna lagi.
“Sejak kapan ya? He.”
“Hmm ... apa yang Pak Araz lihat dari saya?”
“Diantara semua karyawati saya yang rajin salat itu cuma kamu, Tasna.”
Jeda menyempil di antara mereka. Membuat Tasna sadar bahwa ternyata atasannya ini cukup menjunjung tinggi sekali nilai-nilai agama yang dianutnya.
“Itu satu, kedua ... kamu sangat pintar. Dan memiliki adab ketimuran yang sangat tinggi.”
“Tapi banyak yang pintar juga tapi lebih cantik dan feminim dari saya.”
“Menurut saya kamu cantik dengan wajah khas orientalnya kamu kok, Amoi.”
“Amoi?”
“Iya panggilan untuk anak perempuan Tionghoa kan ‘Amoi’. Orang Betawi asli tapi mirip Amoi. Unik sekali.”
Tasna terdiam. Tasna masih diantara percaya dan tidak percaya. Begitu banyak pertanyaan dan pertanyaan menumpuk di kepalanya. Kenapa bisa begini, kenapa bisa begitu. Tapi yang keluar dari lisannya adalah hal lain. Tasna to the point langsung.
"Kita ... gak pacaran dulu? Bapak langsung lamar saya gitu?"
"Haduh, mampus ini. Kok malah nanya begini? Kesannya kayak aku duluan dong yang ngajakin pacaran ke Pak Araz???? Ya Allah. Tidaaaaaakkk ...." Tasna menjerit di dalam hati.
“Apa yang perlu saya cari tau lagi, Tasna? Kan saya sudah tau. Saya lebih suka pacaran setelah menikah.”
"Ke-kenapa?"
"Karena yang saya kenal Islam yaa ... begitu."
"Itu saja?"
"Iya." Araz mengangguk.
"Serius kita ... ga ada pacarannya ... Pak? Pengenalan lebih lanjut, begitu?” Takut-takut Tasna bertanya lagi.
“No, dosa, ah. Saya tidak mau begitu, Tasna.”
“Oh, ya? Wah saya baru tau Pak kalau pacaran itu dosa.”
Araz tersenyum menanggapinya.