Tasna Srikandi Betawi

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #17

BAB 16 - Sembilan Puluh Orang Gali

“Selamat Pagi, Bu Asisten Manajer!” sapa Pak Cecep, satpam kantor tempat Tasna bekerja.

“Pagi, Pak Cecep. Assalammu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam Ibu Asisten Manajer.”

"Duh, dipanggil begitu lagi." Tasna mengernyitkan dahinya sambil tersenyum kepada Pak Cecep. Ia merasa aneh dipanggil seperti itu, terlebih nama panggilan itu terlalu panjang saat disebutkan.

Pintu masuk lobi pun terbuka otomatis dengan sendirinya saat Tasna melangkahkan kaki. Semua orang pun menyapanya dengan penuh penghormatan. Tasna masih belum terbiasa dengan hal ini. Mulai dari resepsionis, para karyawan dan karyawati dari Divisi Pemasaran, Divisi HRD, Divisi Produksi, Divisi IT, Divisi Umum, office boy, cleaning service, dan lain-lain. Semua menyapa Tasna.

“Ah, ha ha ha, iya pagi. Pagi ... pagi semuanya.”

Sampai Tasna mau memasuki lift pun, para karyawan yang sedang mengantri sampai memberikan jalan padanya untuk memasuki lift terlebih dahulu. Siapa yang tidak mengenali Tasna? Satu kantor ini kenal betul siapa OG cerdas yang membantu pekerjaan paling sulit para karyawan di Divisi IT. OG yang terkenal berjuang membiayai kuliahnya sendiri.

“Duh, kok jadi pada berlebihan begini sih,” keluh Tasna dalam hatinya. Ia yang terbiasa bekerja di sana sebagai OG terasa amat risih diperlakukan seperti itu. Karena dulu saat awal naik jadi karyawan biasa, perlakuannya tidaklah seperti ini.

Lift pun terbuka di lantai 9 Divisi IT. Tasna semakin gugup saat ia berjalan. Sepatu hak setinggi 5 cm yang dipakai Tasna menimbulkan bunyi yang anehnya terdengar sudah sangat khas di telinga para karyawan Divisi IT.

“Wah, lihat! Lihat! Itu Tasna OG!” teriak karyawan-karyawan sebelah kanan. Mereka lupa, langsung meralat dan memanggil Tasna dengan jabatan barunya. “Selamat pagi, Bu Asisten Manajer.”

“Yo, Tasna! Eh salah, Bu Asisten Manajer!” Vian berdiri dan menghampiri. 

“Aduh, saya ga tahan lagi. Saya malu. Tolong kalian semua biasa aja ya ke saya. Please,” pinta Tasna. Kedua alisnya menekuk ala huruf ‘U’ yang justru lebih terlihat seperti ada dua mangkuk bertengger di sana. 

“Silahkan duduk dulu, wahai Ibu Asisten Manajer.” Jamal malah bergaya bak seorang pramusaji hotel bintang lima. Sayangnya, tangannya saat dikibaskan malah lebih mirip seorang pesulap memperlihatkan hasil sulapnya di panggung. 

Tasna dan yang lainnya tertawa melihat tingkah Jamal.

“Ha ha, makasi Bang Jamal. Duh ... ini saya duduk di sini gitu, ya?”

“Iyalah Bu Tasneeee, Bu Tasneeee,” ucap Vian yang gemas sekali dengan Tasna.

“Saya duduk nih, ya?”

“Iyaaa!” kompak semuanya menjawab gemas dalam satu suara ke Tasna. Diakhiri dengan gelak tawa, masing-masing menggeleng-gelengkan kepalanya. Merasa Tasna lucu dan sangat tidak enakan sekali dengan mereka. Hal ini membuat mereka semakin menyukai kepribadian Tasna.

Tasna langsung pasang senyum kuda, di mana gusinya ikut tampak. Betapa bahagianya Tasna bisa melihat Mirna yang sudah bisa tersenyum amat tulus di momen berharganya itu. Sebuah senyum yang hilang, yang sangat lama Tasna rindukan. Senyuman persahabatan.

****

Sementara detik itu juga di markas Gali. Babeh Yahya berkunjung di jam kunjungan sebagaimana biasanya. Kali ini Babeh Yahya membawa dua kantong plastik hitam ke markas. Semua Gali berkumpul dan tumben tak ada sedikit pun dari mereka yang absen.

Babeh Yahya mengenakan baju pangsi adat Betawi berlengan panjang warna krem yang memiliki kerah bulat O-Neck. Baju pangsinya terbuka karena memang aslinya tidaklah berkancing. Ia mengenakan kaos putih polos sebagai dalamannya. Celana pangsi Babeh Yahya sangat longgar di atas mata kakinya dengan ikat pinggang hijau berukuran besar. Tak lupa sarung berwarna hijau dilipat amat rapi di lehernya supaya praktis. Biasanya ini digunakan oleh para jawara Betawi sejak zaman dulu untuk salat kapan pun dan di mana pun. Serta berfungsi pula untuk menyabet lawan yang kadang suka mendadak ditemui depan mata.

Meski baju pangsinya berwarna krem, Babeh Yahya malah memakai peci merah yang biasa dikenakan Engkong Siman. Iwan makin panas saja melihatnya. Pasalnya peci merah di dunia Betawi sangatlah sakral dan tidak bisa sembarang orang memakainya. Hanya orang-orang yang memiliki ilmu silat dan ilmu agama tinggi saja yang layak memakai peci merah. Iwan akui ilmu agama Babeh Yahya cukup tinggi sehingga ia sendiri disegani oleh masyarakat karenanya, tetapi tidak untuk ilmu bela diri. Iwan masih merasa Engkong Siman saja yang pantas memakainya.

“Assalammu’alaikum!” sapa Babeh Yahya.

“Wa’alaikumussalam,” jawab semua Gali tanpa terkecuali. Namun setelah mendengar ada penekanan nada yang sedikit aneh dari ucapan salam mereka itu, entah mengapa Babeh Yahya langsung merasakan firasat yang sangat tidak enak. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba menekan dadanya. Entah apa ia tidak tahu.

“Lah, kok tumben ini yak ngumpul semuenye? Pada kagak ade nyang kerja hari ini ape ye?” tanya Babeh Yahya seperti biasa dirinya yang apa adanya.

Iye nih, Beh. Pada bela-belain ngumpul semuenye di mari. Pada reuni,” jawab Aceng.

Iye Beh, pada kangen kite semuenye ame Babeh Yahya, he he he,” ucap Sodri menambahi.

“Ah, ade-ade aje pake kangen segala ame Babeh. Pret, ah! Ha ha. Kalian sehat-sehat nih pada? Oh iye, ini Babeh bawain es teh manis. Seger banget deh si Tasna tadi malem yang bikin sendiri buat kalian katenye.” Babeh Yahya membagi-bagikan es teh manis yang dibungkus dalam plastik sebesar genggaman tangan dan diikat karet pada ujungnya itu kepada para Gali.

Mereka menggigit ujung plastiknya dan segera meminum habis es teh manis cair itu. Sebentar lagi giliran Iwan yang dibagikan es teh buatan Tasna. Iwan menatap tajam Babeh Yahya.

“Wan? Sehat?” tanya Babeh Yahya lembut. Ia tersenyum sangat ramah seperti biasa padanya.

Iwan meminum es teh manis itu di depan Babeh Yahya, dan .... 

“Hiyaaaaaaahhhh ...!!” Iwan berteriak sambil melempar es teh manis yang tersisa setengah plastik itu dengan kekuatan tenaga dalam yang sudah dipersiapkannya ke tubuh Babeh Yahya di hadapannya.

Dengan lincah bak kucing melompat, Babeh Yahya mundur jauh ke belakang, untunglah Babeh Yahya refleks menghindar. Kedua alas kakinya langsung menggesek tanah untuk mengerem gerakan tubuhnya.

“Iwan?!!” Babeh Yahya terbelalak. Ia tidak mengerti mengapa Iwan yang sudah ia sayang selama ini tiba-tiba berubah seperti itu.

Iwan menunduk dengan mata tetap menatap tajam ke arah Babeh Yahya. Seolah panglima yang berlagak sedang memimpin perang, Iwan menunjukkan aksinya sekali lagi agar Gali lain tak ragu-ragu untuk melanjutkan rencananya.

Lihat selengkapnya