Tasna Srikandi Betawi

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #18

BAB 17 - The Legend Of Teta

Tasna kesal bukan main. Setelah mendengar semua pernyataan dari sembilan puluh orang Gali asing tersebut, ia tak menyangka jika Iwan benar-benar dalang dari semua pemberontakan ini. Ia menelan ludahnya seakan-akan menelan tubuh Iwan bulat-bulat. Babeh Yahya yang terluka pun mencoba berdiri.

“Lo? Babeh mao ngapain, Beh?”

“Mau bagemane lagi? Dari pada diem aje ngeliat anak Babeh sendiri mati konyol ngelawan preman sebanyak eni, mending Babeh aje, Tas. Babeh aje nyang mati. Ketauan Babeh udeh tua!”

“Jangan, Beh! Hu hu ... jangan! Apapun itu atau mo sebanyak apapun orang jahatnye Tasna masih bisa lawan, Beh! Percaya ama Tasna, Beh! Babeh diem aje di belakang Tasna ye, Beh, ye?”

“Kagak, Tasnaaa!!!” 

Tasna kaget sekali. Untuk yang pertama kalinya dalam seumur hidup Tasna, Babeh yang selalu lemah lembut memperlakukannya ini membentak dirinya. Nada bicara Babeh yang keras itu berhasil meruntuhkan bendungan yang dari tadi menahan seisi air mata di dalam waduk kesedihan Tasna. Tasna memandang lama bola mata Babeh Yahya. Sama-sama, mata keduanya tergenang. Sama-sama, air matanya telah lepas.

Udeh ah kelamaan ...! Kagak usah pura-pura lemah lu Yahya ...!!! Keluarin aslinye elu! Hiyaaaaahh ...!!!” Terlihat dari gaya bahasanya yang tidak sopan, tanpa banyak omong lagi salah satu dari para Gali asing—di luar kawanan Engkong Siman—itu pun langsung menyerang Babeh Yahya. Ia melompat dengan menarik kepalan tangannya ke belakang untuk kemudian ia hantamkan pada targetnya.

Tasna langsung pasang badan menjadi tameng Babeh Yahya. Akhirnya Tasna dapat menangkis pukulan dahysat tersebut. Dalam dua-tiga kali gerakan, Tasna berhasil menumbangkan orang tak tahu sopan santun pada yang lebih tua itu. Dia pun terkapar. Tasna langsung memasang kuda-kuda depan 'salah satu kaki berada di depan dengan tumpuan beban badan berpusat ke arah depan di mana letak kaki yang belakang fokus menjaga keseimbangan'. Kedua kaki Tasna mencengkeram kuat di atas permukaan tanah halaman markas. Dengan kedua tangan di depan dada, Tasna siap menerima serangan susulan demi menyelamatkan Babehnya itu.

Sebagai seorang ayah, Babeh Yahya menangis dilindungi oleh anak perempuannya. Ia begitu bangga sekaligus terharu melihat sosok Tasna yang sudah ia jaga sangat ketat dari pengaruh buruk premanisme sejak kecil, kini sudah tumbuh dewasa dan kuat.

“Seraaaang ...!” Sembilan puluh orang Gali asing yang dibawa Iwan itu pun serempak mengeroyok Tasna juga.

Tasna terus melawan mereka, satu per satu pun kena semuanya. Beberapa kali, belasan hingga puluhan Gali terhempas karena serangan balik Tasna. Mereka bahkan hampir saja menyentuh kulit Babeh Yahya. Sang Babeh tentu tidak hanya diam saja, di belakang tubuh putrinya itu ia ikut menyerang membantu Tasna semampu yang ia bisa di tempatnya berpijak. Kolaborasi ayah dan anak ini tanpa sadar justru kian menambah kekuatan untuk mereka berdua dengan sendirinya. 

Namun, tak ayal lagi waktu terus bergulir. Lelah menyapa mereka. Biar bagaimanapun Tasna dan Babeh Yahya adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan fisik tak sesakti cenderasa.

“Secara nalar logika pun, sembilan puluh itu terlalu banyak. Mana bisa kalian bertahan?”

Iwan berujar dalam hatinya. Senyum jahatnya pun semakin mengembang. Karena ia tahu, para pentolan Gali sudah banyak yang mati ditembak Petrus. Adapun sembilan puluh orang Gali ini hanyalah tikus-tikus got rendahan yang tidak mungkin menang menjadi pemimpin Gali selanjutnya. Karena jelas siapapun yang dapat membunuh Babeh Yahya tetap saja harus melangkahi mayatnya dulu untuk menaiki tahta itu. Iwan menyadari, tak banyak yang mengetahui posisinya sebagai orang terkuat nomor dua setelah Engkong Siman. Sungguh ia telah matang menyusun pemberontakan ini.

Serbuan sembilan puluh orang itu tidaklah sedikit. Seakan serangan itu tidak ada habis-habisnya, diringi waktu dan tenaga yang tak seimbang. Nyali Tasna tiba-tiba menciut persis seperti balon yang bocor dan kempis. Bukan apa-apa, kepala Tasna sangat pusing melihat begitu banyaknya orang-orang yang mengerumuni dan menyerang dirinya secara bertubi-tubi bahkan membabi buta. Tasna merasa gempuran ini akan tetap datang terus dari segala arah, tanpa ampun dan mungkin pula tiada akhir. Hal ini membuat Tasna mulai tak yakin lagi dengan dirinya sendiri. Manusia sebanyak itu melawan laki-laki paruh baya sedang ia hanyalah seorang wanita, adalah hal yang mustahil. Tasna tak mampu lagi berpikir positif, pikiran-pikiran buruk itu berseteru dalam diri Tasna.

“Dasar zalim! Arena tidak adil macam apa ini?”

Tasna menggerutu dalam hati. Dan dengan tenaga yang hampir habis, Tasna tetap terus mencoba untuk bertahan. Memukul, menangkis, menendang sampai lemah benar-benar menghampiri tubuhnya. Ia pun terpojok bersama sang Babeh. Dirinya kesal kenapa dirinya begitu rengsa. Setidaknya ia berharap tubuhnya sekuat gangsa saat menggasak mangsa.

Di tengah-tengah sisa pertahanan dirinya itu Tasna tetap berusaha tegak berdiri, ia lantas melindungi area tengkorak kepalanya. Sembilan puluh orang Gali terus dan terus saja menyerangnya. Babeh Yahya yang peka dengan apa yang putrinya rasakan itu pun langsung panik. Ia sangat takut terjadi apa-apa dengan Tasna.

“Tasna! Tasna!” Babeh Yahya memanggil berkali-kaki putrinya itu. Tasna tak bergeming. Menyerang balik mereka saja pun tidak. Ia menduga Tasna sudah tidak sanggup lagi. Sang Babeh pun secepatnya memutar badan mengelilingi anaknya tersebut, ia berpindah tempat tuk menangkis serangan demi serangan demi melindungi putrinya itu. 

“Bertahanlah kamu, Tasna!” Namun. “Aaahh ...!!” Sebuah tendangan berjaya mengenai perut dan dadanya. Membuat Babeh Yahya terpental jauh ke belakang.

Tasna mengintip dari balik tangannya itu, tahu-tahu ia sudah melihat Babehnya berjarak tiga meter saja, terkapar darinya. Para Gali merasa aji mumpung tatkala melihat sang Babeh telah keluar dari lingkaran perlindungan Tasna. Serta-merta mereka beralih mengeroyoki Babeh Yahya bersama-sama. Meninggalkan Tasna yang jelas-jelas bukan sasaran utama mereka.

“Tidak! Babeeehh ...!!” Tasna berkeriau, histeris. Hatinya tersayat-sayat menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Babehnya diinjak-injak. “Heeehhh! Udeh dong!! Udeh!! Udeeehhh!!! Lepasin Babeh ayeee ...!!” Tasna berusaha sekuat tenaga mengantarai namun tak ada yang mau mendengar dirinya. Tasna bersedu sedan, sungguh amat menyesakkan dada.

Di saat-saat parah seperti itu, Tasna sadar sudah tak ada lagi orang yang bisa menolongnya.

“Babeeeehh ....”

Tasna merintih memanggil Babehnya tanpa dirinya bisa apa-apa. Hatinya memekik. Ia marah pada dirinya sendiri. Juga marah kepada mereka yang berkhianat. Tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia menyebut nama Babehnya lagi berkali-kali.

Lihat selengkapnya