Tasna Srikandi Betawi

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #19

BAB 18 - Takdir Pahit Araz

Di Rumah Sakit


Babeh Yahya terbaring di kasur rumah sakit. Di kamar itu hanya berisi satu orang pasien saja dalam satu ruangan. Sebuah selang infus terpasang di tangan kiri Babeh Yahya. Tetes demi tetes mewakili detik pada waktu yang terus berjalan tanpa henti. Tampak sebuah televisi terpasang di depan tempat tidurnya. Televisi itu menyala, memperlihatkan sebuah acara berita. 

Terdengarlah berita Presiden Soeharto sedang mengumumkan sesuatu yang sangat penting kepada seluruh rakyat Indonesia. Pak Soeharto menyatakan bahwa Operasi Petrus telah dihentikan secara resmi mulai hari ini. Operasi Petrus yang dijalankan Pak Soeharto telah memicu beragam kontroversi dan perdebatan sengit di berbagai kalangan, termasuk ahli hukum, politisi, serta para pemegang kekuasaan. Pro dan kontra terus bermunculan terkait efektivitas dan etika operasi ini.

Ada yang menganggap jika tindakan menembak mati di tempat tanpa diadili lebih dahulu itu tidak adil. Ada lagi yang menilai jika Pak Soeharto telah melakukan pelanggaran HAM yang sangat berat. Sehingga Pak Soeharto mendapat kecaman dan protes keras dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Meski tak sedikit pula sebenarnya yang menyuarakan dukungannya agar Operasi Petrus ini tetap terus dilaksanakan. Namun sudah tidak bisa, karena Pak Soeharto berada dalam kondisi sangat terjepit. Banyak yang menekannya dari segala arah. Bahkan Amnesty Internasional telah mengirimkan surat mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia terkait Operasi Rahasia ini.

Saat itu dua insan yang sedang duduk di sisi samping tempat tidur Babeh Yahya mendengar sangat baik berita di televisi tersebut. Tasna masih duduk dengan tenang. Berbeda dengan Araz, ia justru cukup terkejut mendengarnya. Operasi Petrus kini benar-benar sudah resmi ditiadakan. Artinya ia tidak bisa lagi menyalurkan hobi menembaknya itu di bawah perintah resmi kenegaraan. Walaupun begitu, ia jadi punya alasan kuat untuk membebaskan Tasna. Ya, keributan di markas Gali itu akan Araz laporkan sebagai masalah internal keluarga biasa dan bentuk pembelaan diri Tasna semata sehingga Tasna dapat terbebas dari jeratan hukum.

Araz menyampaikan rencana laporan untuk atasannya itu kepada Tasna, adapun Tasna hanya berterima kasih dengan datar kepadanya.

Dua insan itu pun termenung kembali saat isi berita di televisi berganti kepada hal lain. Sungguh tak ada yang mengira jika kejadian pemberontakan Gali hari itu membawa kejutan lain yang dapat mempengaruhi hubungan pribadi mereka berdua. Araz benar-benar sedih melihat Tasna lebih terpukul daripada dirinya.

Araz menoleh pada Tasna. Ia berkata dengan lembut dan hati-hati. “Rupanya ... kamu tidak sengaja mengaktifkan Legenda Teta demi menolong Babeh yang ingin dibunuh Gali-Gali pengkhianat itu? Ternyata ... begitu yah ceritanya.” Araz menunduk. Ia benar-benar merasa malu dengan dirinya sendiri atas kesalahpahamannya tentang Tasna. Araz merasa menjadi orang paling bodoh dan paling jahat sedunia.

“Kenapa, Pak Araz tidak bilang? Saya sering mendengar cerita Babeh selama diculik oleh Petrus. Tapi saat itu, saya tidak tahu kalau Petrus itu adalah Pak Araz.” Tiba-tiba Tasna berkata dengan bahasa sangat formal tanpa menoleh sedikit pun. Pandangan matanya kosong lurus ke depan. Tasna lesu. “Berarti ... selama ini saya bekerja di kantor milik Petrus ya. Saya ... digaji oleh orang yang menculik Babeh saya sendiri.”

Araz tak dapat berkata-kata. Ia bingung harus mengiyakan atau tidak. Ia serba salah, Tasna terdengar sangat kaku dengan gaya bahasa formalnya itu. Araz pun memilih mendengarkan Tasna dahulu.

“Berarti ... owner perusahaan yang tidak pernah saya tau wajahnya seperti apa karena katanya baru pulang dari luar negeri selama satu setengah tahun itu, bohong ya Pak? Karena sebenarnya Pak Araz sedang sibuk menjadi Petrus, kan? Dan ... semua koleksi-koleksi senjata Bapak Araz di kantor yang saya lihat itu ... sudah membuktikan kecintaan Bapak terhadap dunia tembak-menembak, ya? Hebat, saya sungguh tidak pernah menyadarinya. Padahal tampang Bapak, tidak ada jahat-jahatnya sama sekali. Ah, maaf ... keluarga saya ... juga orang jahat ya, Pak?”

“Ti–tidak, Tasna. Tidak. Saya ... sekarang mulai mengerti kamu, berkat pribadi Babeh Yahya selama Babeh tinggal bersama dengan saya.”

“Kenapa ... Bapak menculik Babeh saya?” Tatapan Tasna masih kosong ke depan. Suaranya terdengar lemah dari tadi. Matanya sembab, kelopak mata bawahnya bengkak.

“Saya dapat perintah langsung dari Pak Presiden, Tasna. Lewat Om saya yang termasuk bagian penting dalam dunia kemiliteran negara, saya direkomendasikan sebagai sniper terbaik. Dari situlah saya dipercaya Pak Soeharto untuk memusnahkan para Gali yang merugikan masyarakat di wilayah Jakarta Timur.”

“Kenapa ... Bapak memisahkan saya dengan Babeh saya?” Tasna memiringkan kepalanya. Masih enggan menoleh dan menatap Araz.

“Maafkan saya Tasna. Saya ....”

“Kenapa ... Bapak Araz ... membuat Babeh harus tersiksa padahal Babeh saya ... bukan seorang Gali?”

“Ma–maaf, Tasna ....”

“Kenapa main tembak di tempat? Kenapa tidak ... diadili lebih dulu? Kenapa ...? Kan Babeh saya tidak salah, Pak."

“Tasna ... Tolong maafkanlah saya. Semua prosedur penembakan dari Presiden harus seperti itu. Tapi ... tapi Babeh kamu sudah saya perlakukan dengan sangat baik selama diculik. Jujur, Babeh Yahya ... orang yang berbeda dibandingkan para Gali yang saya culik lainnya. Kebaikan dan kesabaran Babeh Yahya sungguh sangat memukau hati saya.”

Tasna akhirnya mau menoleh kepada Araz. Ia berkata tanpa ekspresi di wajahnya sedikit pun. “Tidak. Di akhirnya, Bapak Araz masih menyiksa Babeh saya. Bapak menyuruh Babeh saya ... berjalan kaki berkilo-kilo meter lamanya.”

“Tasna ... sa–saya tidak bermaksud ... maafkan saya, Tasna. Hu hu. Maafkanlah sayaaa ...."

Tasna meluruskan kembali pandangannya ke depan. “Terima kasih, sudah bantu bawa Babeh saya ke sini. Pergilah, Pak. Tenang ... besok saya akan tetap masuk kerja. Tapi tolong, anggap saja Bapak tidak pernah kenal saya sama sekali.”

“Tasna! Lalu ... ba–bagaimana dengan ... rencana pernikahan kita?!”

Mendengar pertanyaan itu, pertahanan Tasna hampir saja runtuh. Tasna tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia masih mencintai Araz. Tasna berbinar karena bersimbah air mata. Akan tetapi rasa kecewa dan rasa sakit itu telah menghalangi perasaan cintanya. 

"Ada yang mau saya katakan dengan jujur." Araz terdiam. "Saya ... sudah bukan gadis lagi. Saya janda."

Araz menarik napasnya lalu menghempaskannya perlahan, "Saya tau."

Tasna terperangah, ia bingung dari mana Araz bisa mengetahuinya. Tasna justru berharap dengan mengatakan ini Araz mau mundur memperjuangkannya. Tetapi yang Tasna dapati adalah sebaliknya. "Sa–saya ... sudah punya satu anak!"

Araz mengangguk pelan, "Saya juga sudah tau."

Tasna menoleh secepat kilat dengan kelopak matanya yang terbuka. Araz mengerti tanda tanya tercetak jelas di wajahnya.

"Susu kotak, ingat? Kamu pernah meninggalkan susu kotak anakmu di mobil saya. Saya ... sudah bisa nenebaknya, Tasna. Jadi ... saya sudah tau dan saya tetap mau kamu." Keterangan Araz mengejutkan Tasna. Suara pria itu parau menahan isak. Tasna sungguh tak menyangka apabila Araz sudah mengetahuinya sejak lama karena kecerobohannya sendiri.

Tasna dan Araz saling berpandang-pandangan. Araz berusaha memberi senyum paling manisnya meski air matanya harus tumpah. Tasna tak dapat berkata-kata, ia tatap Araz yang amat tulus itu di hadapannya. Namun entah mengapa Tasna tetap merasakan hatinya dipenuhi keberuntungan yang amat menyakitkan. Tasna masih tak mengerti pula dengan perasaannya. Matanya bergelimang air bak sekumpulan reruntuhan dari pondasi yang telah hancur. Melihat wajah lelaki yang dicintainya ini, hati Tasna merembeskan darah. Memorinya dipenuhi dengan darah, kenangannya ... amat berdarah-darah. Tasna tak bisa. Ia benar-benar tidak bisa. Lantas, ia menarik kembali pandangan itu.

“Pergi,” lirih Tasna.

Araz menangis. “Ta–Tasna ...?”

Tasna terdiam. Ia tak mau mengindahkannya lagi.

“Tasna ...?"

Tasna menutup mulutnya. Air matanya pun mulai turun ke pipinya dengan lembut.

"Sayang?”

Jantung Tasna berdegup kencang mendengar panggilan Araz itu.

"Sayaaang ...." Araz tersedu-sedu memanggilnya lagi. "Sayang, kumohooonn ...."

Namun Tasna tetap membisu, meski binar di matanya mulai meredup. Kata ‘Sayang’ yang terlontar dari lisan lelaki yang sangat disukainya itu sebenarnya telah membuat hatinya yang ditawan kegelapan menyala kembali. Jiwanya meleleh dan hampir mengalahkan kekecewaannya. Rasanya, ia ingin memeluk pria yang ada di sampingnya itu. Terlebih Tasna telah melalui beragam masalah berat beruntun yang telah menerpa jalan hidupnya sejauh ini. Jelas Tasna membutuhkan bahu seseorang untuk sekadar dirinya bersandar. Namun ia urung. Ia tak mau tampak lemah. Tasna teguh mengunci dirinya.

“Baiklah ... Tas–Tasnaaa ...,” isakan Araz semakin mengiris-iris ulu hati Tasna. “Sayang, Sa–saya tidak akan memaksa lagi. Tapi saya ... saya akan tetap menunggu ... sampai kapan pun. Tasna ... ingat, sampai kapan pun.” Araz memandangi wajah Tasna lekat-lekat dari samping. Ia sangat mengharapkan tatapan terakhir dari wanita yang ia cintai, yang ia tahu tak akan pernah ia dapatkan lagi. “Assalammu’alaikum.” Akhirnya salam yang sangat berat itu terucapkan pula olehnya. Dengan sudah mengucapkan salam, itu artinya Araz sadar bahwa ia telah menyetujui keinginan Tasna yang terakhir tadi. Araz pun pergi.

Setelah Araz bertolak dari sana, Tasna justru menangis. Ia melepas seluruh gemuruhnya yang tertahan di dada sedari tadi. Tasna menundukkan kepalanya di tepi kasur Babehnya itu. Pundaknya berguncang hebat karena sejatinya hatinya tak pernah menginginkan perpisahan dengan pujaan hatinya seperti ini. “Wa–wa’alaikumussalam. Hu hu hu ... hu hu hu hu ...!”

Kelopak mata Babeh Yahya yang masih tertutup itu pun berkedip-kedip. Jari jemarinya bergerak. Tangisan Tasna telah membangunkan Babeh Yahya.

Lantas Babeh Yahya membuka matanya perlahan. Ia melihat langit-langit yang bukan rumahnya. Ia menyadari dirinya sedang terbaring di sebuah rumah sakit. Ia pun memanggil putrinya yang sedang terisak di sampingnya. “Tas ... na ...?”

Tasna terkejut. Ia langsung menarik bangkunya dan duduk tegak di dekat kepala Babehnya itu. “Iya, Beh. Ini Tasna, Beh.”

Lihat selengkapnya