Tasna menjerit memegangi perut besarnya sebelum terjatuh. Ada salah satu warga yang menyaksikan kejadian itu, takut menyentuh ia pun meneriaki warga yang lain tuk membantu. Mereka berdedai-dedai datang lalu mengangkat lengan Tasna agar bisa berdiri. Namun Tasna merasa sudah tidak kuat. Ia malah pingsan di atas trotoar jalan itu.
Araz yang membuntuti Tasna dari tadi pun segera menepikan mobilnya. Ia turun dan menghampiri Tasna yang tak sadarkan diri. Memang sudah dari pagi Araz mempunyai firasat yang tidak enak sejak melihat Tasna di kantor. Ia curiga jika ada sesuatu hal buruk yang terjadi dengan Tasna. Rupanya ia tak salah mengikuti apa isi hatinya itu, firasatnya memang benar.
“Ayo, Pak bawa masuk ke mobil saya saja Pak,” ucap Araz.
“Maaf, Bapak ini siapanya Ibu ini, ya?”
“Saya atasannya Pak. Nama saya Araz.” Araz menunjukkan kartu namanya yang ada di saku kemejanya. Mereka mengangguk-angguk dan segera membopong Tasna masuk ke dalam mobilnya.
Araz menancapkan gasnya, ia segera membawa Tasna ke rumah sakit terdekat. Segera ia mengambil telepon genggam NMT-900(1) yang berbentuk seperti balok persegi panjang warna hitam dan memiliki layar kecil tak berwarna yang ada di dalam dashboard mobilnya itu. Araz menelepon Neneh, kakak sepupunya Tasna untuk memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi agar segera disampaikan pula pada Babehnya. Sesampainya di IGD Tasna langsung disambut dan dibantu oleh para perawat, tubuhnya diangkat ke sebuah tempat tidur berjalan.
Araz memasang wajah cemas. Ia ikut menggiring Tasna yang didorong perawat-perawat ke dalam. Dipasangkannyalah infusan di tangan Tasna. Stetoskop juga sibuk memeriksa dada dan perut besar Tasna. Saat itu, Tasna mulai sadarkan diri. Ia melihat ramai perawat dan dokter jaga sedang menolongnya. Dan betapa terkejutnya dia melihat Araz ada di hadapannya.
“Pak Araz?!"
“Iya, Tasna. Ini saya. Saya gak sengaja menemukan kamu pingsan di pinggir jalan,” terang Araz, menenangkan. “Maaf Tasna. Memang, Bambang ke mana? Sudah tau kamu lagi hamil besar kenapa dia tidak jemput kamu?" Mendengar Araz menanyakan Bambang, pedih kembali mencakar-cakar hati Tasna lalu ia pun menangis.
Dokter jaga saat itu sudah pergi, seorang perawat yang masih berada di sana sambil membetulkan infusannya pun berkata kepadanya, “Bu, tenang ya Bu. Kasian dedeknya. Kalau ibunya menangis begini nanti dedeknya di dalam juga ikut sedih. Tidak sehat untuk dedeknya, Bu.” Tetapi Tasna tetap menangis. Rasa sakit di hatinya membuatnya tak terlalu peduli lagi pada kondisi anak di dalam perutnya ini.
Araz tak mengerti mengapa Tasna menangis. "Apa sesakit itukah jika seorang wanita hendak melahirkan?" Pikir Araz. Ia tahu, Bambang sudah lama tidak lagi bekerja kepadanya sebagai supir jemputan kantor. Tapi, ia baru tahu jika Bambang tega membiarkan istrinya pulang malam sendiri dalam kondisi begini.
“Coba telepon suamimu. Suruh dia ke mari, Tasna.”
Tasna menggeleng-geleng. Katanya sudah tujuh bulan ini tidak lagi serumah dengan suaminya itu.
“Apa?!” Araz sangat kaget.
“Bambang pergi meninggalkan akuuu ..., hu hu, ka–katanya aku sudah membosankan untuknya ... ditambah, dia gak betah dengan ocehan Babeh terkait dia yang hanya mau ongkang-ongkang kaki saja di rumah,” ujar Tasna. Ia bercerita sambil menahan mulas yang datang setiap sepuluh menit sekali itu. “Aku ... aku menemukannya sedang jalan bersama wanita lain yang ternyata katanya itu adalah istri barunya. Aku sakitttt sekali .... Hatiku seperti telah mati. Hidupku sudah mati. Apalagi dia ... dia juga sudah pernah selingkuh dengan wanita yang berbeda sebelum ini. Aku memaafkannya berkali-kali tapi aku ... aku sakit hati sskali. Sakiiiittt sekali. Dia tidak peduli aku sedang hamil anaknya!! Hu hu hu hu ....”
Araz mengepalkan tangannya di tepi ranjang Tasna. Sedih dan marah menjadi satu.
“Tasna ... kupikir kamu sudah hidup bahagia. Selama ini aku selalu menjaga batas sama kamu karena itu. Tasna ... kenapa kamu gak bilang?!! Aku bisa lebih membahagiakan kamu dari pada orang berengsek itu!!” Araz menyesalinya dalam hati.
Seorang perawat datang lagi dan ia menyuruh Araz untuk keluar dulu di balik tirai. Perawat itu memeriksa bagian bawah perut Tasna.
"Wah, sebentar lagi ya Bu. Sudah pembukaan empat."
Perawat itu keluar dan mengatakan kepada Araz kalau ia akan segera menyiapkan ruang bersalin buat Tasna. Ia meminta kepada Araz untuk tetap terus menunggui proses persalinan pasien karena tidak ada lagi kerabat selain dirinya.
Araz membuka tirai kasur Tasna. Dilihatnya Tasna yang masih menangis. Ia merasakan sakit mulas yang mulai lima menit sekali. Membuat hati Araz kasian melihatnya. Ia tak tega sebegitu besar perut dan rasa sakit yang ditanggungnya. Araz berharap agar dia saja yang menggantikan posisi Tasna di kasur itu.
Perawat pun datang lagi untuk memeriksa tubuh Tasna. Araz dipintanya menunggu kembali di luar.
"Alhamdulillah ya, Bu, sudah pembukaan enam."
Perawat itu keluar dan bilang kepada Araz jika Tasna sudah saatnya dipindahkan segera ke ruang bersalin yang sudah disiapkannya. Araz mengangguk. Ia ikut mengantarkan Tasna yang sedang tarik napas berkali-kali dalam pembaringannya.
Sesampainya di ruangan bersalin. Perawat melarang Araz ikut masuk ke dalam. Araz menunggu di luar dengan harap-harap cemas. Mengingat semua yang Tasna ceritakan tak sadar Araz sampai menonjok dinding rumah sakit hingga retak. Bukannya berhenti justru ia semakin sengaja menonjoknya lagi berkali-kali.
BUK!! BUK!! BUK!!
"Aaaarrrhh!!!"