Tasna Srikandi Betawi

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #21

BAB 20 - Nari 1992

Proses kelahiran di tahun 1992 itu pun menjadi kisah yang dari hari ke hari tak pernah bosan diceritakan ulang oleh Tasna kepada putri keduanya, Nari. Nari tidak tahu harus bagaimana jika setiap ia berjumpa dengan Mamanya, kadang ia mendapatkan kata-kata yang tidak menyenangkan ditujukan dari sang Mama dan keluarganya kepadanya. Hanya Emak Neneh sajalah yang mau merangkul dirinya, meski kadang kala hatinya dipaksa kuat juga dalam beberapa cabikan luka. Namun ....

"Sono gih ke ibu kandung kamu! Saya itu bukan ibumu! Saya kagak pernah lahirin kamu! Saya bukan ibu kamuuu ...!!" teriak Neneh kepada Nari.

Di usianya yang ke-17 tahun, entah ada angin apa Emak Nenehnya mengusirnya yang baru saja pulang dari sekolah. Nari yang tidak tahu apa-apa tentu saja syok dan kebingungan. Salah apa ia, pikirnya.

"Dila sayang nanti Emak antar kamu jajan ke warung ya tunggu sampai kamu cantik dulu rambutnya." Neneh saat itu tengah mendandani rambut indah Dila, anak perempuan Tuti—kakak kandung Nari yang terpaut usia 12 tahun dengannya dan berbeda ayah. Membuat hati Nari sedikit iri.

"Inget ya, saya bakalan ngurus Dila ajah! Gak mau ngurusin kamu lagi. Sono kamu pergi! Ibu kandungmu tuh si Tasna, bukan saya!!" pekik Neneh sekali lagi kepada Nari yang masih berdiri.

Nari langsung berlari ke kamarnya. Ia lempar tas sekolahnya sekencang-kencangnya ke tembok kamarnya itu sampai isi di dalam tasnya terburai. Nari menangis, ia lelah dan menghempaskan tubuhnya di atas kasur.

"Apa salah aku?! Apa Emak berubah sejak ada Dila tinggal di sini?! Hu hu. Tapi kenapaaaa? Apa salah akuuuu?" Nari tersedan-sedan. Ia merasa Emak Nenehnya menjadi lebih histeris akhir-akhir ini sejak sering mengalami pertengkaran dengan Tasna.

Ya, Tasna menjadi orang yang sangat cemburuan ke Neneh sejak anak-anak kandung yang dirawat oleh kakak sepupunya itu mulai tumbuh dewasa. Semua berawal dari Tuti yang sudah menikah dan mempunyai anak. Tuti dan suaminya menunjukan perhatiannya pada Neneh. Seperti saat Neneh selalu dibawakan martabak telur oleh suami Tuti tiap suami Tuti pulang bekerja. Kadang malah Tuti yang sering mengirim martabak atau sekadar lauk buatannya ke rumah Neneh. Semua itu dilakukan tanpa disengaja, karena Tasna bekerja dan sering lembur di kantor.

Awalnya Tasna tidak tahu, tapi pernah ada momen di mana Tasna memergoki Tuti menghadiahi martabak buat Neneh. Saat itu Tasna dan Tuti sama-sama baru pulang kerja menuju rumah Neneh. Tasna cemburu bukan main. Dipandangilah sekotak plastik hitam isi martabak telur tersebut di atas meja dengan wajah masam.

"Tuti! Kenapa kamu dan suamimu sukanya selalu ke Emak Neneh? Mama kandungmu sendiri gak pernah kamu kasih apa-apa!"

"Ya Allah, Ma. Tuti ama suami Tuti kagak bermaksud apa-apa, Ma."

"Kamu juga, Mpok. Kok bisa-bisanya menikmati semua perhatian anak-anakku?! Aku ibunya Mpok! Aku ibunya! Kenapa aku seperti dilupakan mentang-mentang kamu yang merawat mereka semua??!!" Tasna mulai terisak.

"Tasna! Demi Allah Mpok kagak pernah ngajarin yang enggak-enggak ke anak-anak! Mpok kagak ngerti juga, Tasna! Namenye orang dikasih, ya udah Mpok terima."

Tasna menangis dan langsung pergi dari rumah Neneh tanpa kata. Tak lama, Dila, anak perempuan Tuti keluar dari kamar Neneh dengan gaya berjalannya yang lucu sambil mengucek-ngucekkan mata.

"Dila, anak Mama sayang. Sini, sini, Nak. Kebangun ya kamu? Ya Allah maaf ya, Nak." Tuti segera memeluk putrinya itu di atas pangkuannya.

Tuti menjadi wanita karir yang bekerja di kantor mengikuti jejak Mamanya, Tasna. Sehingga mau tidak mau ia harus menitipkan Dila yang masih berumur 2 tahun itu kepada Neneh. Uak yang selama ini merawat dirinya dan Nari sejak kecil.

Tasna dan Neneh adalah saudara sepupu yang sangat dekat seperti sepasang sahabat, namun sesuatu yang sangat dekat pun tak luput dari gesekan-gesekan akibat dari kedekatan itu. Memang ada kalanya gesekan itu menghasilkan kehangatan. Namun tak jarang pula ada gesekan yang menghasilkan banyak baret dan bahkan robekan-robekan. Begitulah keadaan hubungan Tasna dengan Neneh saat ini.

Nari pun ikut keluar dari kamar yang letaknya ada di sebelah kamar Neneh. Meski ia sedang sibuk mengerjakan PR matematika, tapi di dalam kamar ia sudah mendengar semua keributan itu.

"Bener kak Tuti kagak sengaja?" selidik Nari.

"Iya, Kak Tuti gak sengaja beneran, Nari."

Sepeninggal Tasna, Neneh masih saja melamun, ia tampak termenung di sofanya.

"Udeh Mak, Mama Tasna lagi capek kali pulang kerja. Memang salah Tuti juga cuma beli satu martabak. Besok-besok Tuti beli dua, Mak."

Betapa kagetnya Tuti dan Nari, air mata melintasi pipi Emaknya itu. Neneh pun langsung masuk ke kamar dengan membanting pintu lalu menguncinya dari dalam. Mungkin kata-kata Tasna terlalu menyakitkan bagi dirinya. Nari dan Tuti saling menatap sedih satu sama lain.

"Tuh, Nari. Kasian Emak Neneh. Kamu juga sih dulu pernah bilang ke Mama kalo Mama kandungmu itu Emak Neneh! Kan jadi su'udzhon tuh Mama ke Emak sejak itu. Semua gara-gara kamu!"

"Maap deh, Kak. Tapi kan waktu itu Nari masih kelas 1 SMP, baru lulus SD, Nari belum paham mana yang ibu kandung, mana yang bukan."

"Iya, kamu memang lemot orangnya! Payah!"

Nari menarik kedua sisi kanan dan kiri bibirnya menjadi kaku dan lurus ke samping. Ia tersenyum kecut.

"Makanye, jangan kayak Bambang! Mukamu tuh mirip Bambang banget tau, ih ngeselin!"

Lihat selengkapnya