Semakin diukir, semakin indah. Kian dekat, kian cinta. Bagaimana engkau bisa memusnahkan rasa?
Sejak Tasna melahirkan seorang putra bernama Umal. Bambang pergi meninggalkannya lagi lalu menikahi wanita lain di kampungnya, Semarang. Sejak itu, Tasna benar-benar menutup pintu hatinya untuk laki-laki manapun selamanya. Termasuk Araz, bos yang tentunya hampir bertemu dirinya setiap hari. Terbersit pikiran Tasna untuk pindah kerja, tapi ia menyadari tidak ada perusahaan yang dapat menerima lamaran kerja untuk jabatan tinggi dengan background lulusan SMA saja jika tanpa title sarjana sepertinya. Demi masa depan anak-anaknya, mau tak mau Tasna terus bertahan dengan cara mengasingkan perasaannya di perusahaan milik Araz tersebut.
Kadang, Tasna suka membawa Umal dan Nari yang masih balita ke kantornya. Nari dan Umal hanya terpaut usia 1 tahun saja membuat mereka sudah seperti anak kembar, mirip sekali. Padahal mereka berdua kakak beradik yang seibu dan seayah. Wajah mereka sama-sama sipit dan berkulit putih yang menurun dari Tasna, ibunya. Araz gemas sekali, rasanya ia ingin menjadi pengganti ayah mereka. Betapa Nari dan Umal sangat butuh kasih sayang yang lengkap, yang tidak hanya dari ibunya saja.
Sejak melihat anak-anak Tasna itulah, Araz mulai memberanikan diri tuk kembali menggedor-gedor pintu hati Tasna yang terkunci.
“Wow, buket bunga mawar putih di mejamu. Dari siapa itu, Tasna?” tanya Mirna yang berjalan mendekat.
“Ini, Mba. Dari ...” Tasna mencari-cari label tulisan pada bunga itu. Setelah ketemu, Mirna maju ikut membacanya.
“A ... raz.” Mirna membaca tulisan yang tertera di sana. “Loh? Pak Araz?!” Mirna terbelalak menatap Tasna. “Tasna? Ini serius Pak Araz??? Wuih, udah lima tahun lo sejak kamu melahirkan anak kedua dari si Bambang eror itu. Tambah empat tahun usia anak keduamu, wah berarti perasaannya gak berubah selama sembilan tahun itu lo, Tasna!"
“Apaan, sih? Apaan?!” Vian kepo melihat Tasna memegang seiikat rangkaian bunga. Ia pun mendekat, diikuti Jamal dan beberapa karyawan Divisi IT lainnya. Sumarni dan Anarti yang baru saja lewat juga ikut nimbrung.
“Wah, wah, wah. Pak Araz nih, ya. Kirain udah move on, hahaaayy!!” Vian berteriak kesenangan sambil menepuk separuh tangan dengan kaki diangkatnya sebelah. Entah kenapa ia girang sekali mengetahui ini.
“Tasna, kamu serius masih mau menjanda?” tanya Mirna.
“Iya, Tasna. Terima aja udahlah!” tambah Vian lagi. Adapun yang lain turut mengangguk-anggukkan kepala.
Tasna tersenyum lesu. “Aku masih gak bisa, Mas Vian.” Ia lantas membuang bunga itu di tong sampah samping meja kerjanya. “Aku gak bisa.”
"Oh, Tasna ...."
Semua langsung sedih mendengarnya. Mereka tahu Tasna mungkin mujur dalam segala hal. Rejeki, jabatan, pujian, tapi ia kurang beruntung dalam masalah percintaan. Begitulah orang, tidak selamamya yang menurut kita baik-baik saja itu tampak bahagia. Tiap orang pasti menyimpan sisi kurangnya masing-masing. Seperti Tasna, hatinya menderita akibat traumanya yang mendalam. Sisi baiknya, hal itu malah menjadi dorongan kuat untuknya melejit dan selalu berprestasi. Tasna terbukti berkali-kali mendapatkan bonus serta naik gaji. Begitulah yang ada di pikiran teman-teman kantor Tasna yang merasa iba kepadanya saat itu.
Seminggu pun berlalu. Tasna, Araz dan karyawan lain seperti biasa bekerja dengan profesional seolah-olah mereka tidak tahu apa-apa tentang bunga Bosnya itu. Esoknya, buket bunga itu tergeletak lagi di depan meja Tasna dengan nama pengirim yang nasih sama. Semuanya teringa-inga. Mereka masih menyerahkan keputusan itu pada Tasna. Saat semua karyawan pulang, betapa sedihnya hati Araz melihat bunga pemberiannya ditemukan terbaring di dalam tong sampah lagi.
Araz tak menyerah. Bunga-bunga itu terus saja ia taruh di depan meja Tasna. Dari seminggu sekali–karena takut Tasna bosan–kini ia kurangi menjadi sebulan sekali. Selama lima tahun, hal itu terus saja terjadi. Membuat hati semua karyawan di Divisi IT ikut terharu namun teramat sedih. Tak terkecuali orang-orang Pantry.
“Tasna, udahlah diterima aja itu si Pak Bos,” bujuk Anarti yang berdiri bersandar di tembok Pantry.
“Iyo Tasna. Pak Araz iku yoh masih guanteng minta ampun! Beneran!” kata Sumarni, sambil memegangi kedua tangan Tasna. Tasna masih terdiam.
“Aahh, sumpah ya aku iri banget sama kamu. Pak Araz setia banget lo, Tasna. Dia itu sampai gak nikah-nikah! Perjaka tua, kamu gak kasian apa sama Pak Araz?” ujar Mirna, mencoba mengajak Tasna tuk membuka pikirannya. Tasna jadi tertunduk mendengarnya. Sebenarnya, Tasna juga sedih dengan kondisi atasannya itu.
“Eh, Tasna. Semua di Divisi IT ini tuh udah pada punya anak. Itu lo tinggal Pak Araz doang yang belum punya keturunan. Menurut kamu, nunggu apa lagi coba dia ituuu???”
“Nungguin kamuuu!!” ucap mereka semua secara serempak sambil mencondongkan kepala dan tubuhnya ke arah Tasna. Tasna benar-benar langsung gamam karenanya.
Apalagi orang-orang kantor tidak ada yang tahu jika Araz seorang Petrus yang pernah berhati dingin menembak mati banyak Gali kemudian menggeletakkan ratusan jasad Gali begitu saja di jalan-jalan. Araz jugalah yang menculik dan memberikan suruhan-suruhan yang tidak masuk akal kepada Babehnya itu. Ya, mereka tidak tahu alasan kedua Tasna menolak Araz yang sebenarnya. Yang mereka tahu Tasna hanya trauma dengan dua suami sebelumnya, itu saja. Padahal bisa saja trauma semacam itu sembuh apabila berani ia hadapi. Ditambah lagi, sosok Araz sangatlah sempurna di mata mereka. Tak ada cacat sedikit pun. Tak heran semakin geregetanlah mereka kepada Tasna.
Tasna pun ke rumah Yumenah untuk meminta pendapatnya tentang apa yang terjadi dengan Araz di kantor selama ini. Sekaligus menengok anaknya, Umal, yang ia titipkan kepadanya. Yumenah memang sudah lama resign dari OG di kantor sejak menikah. Tak lupa, Tasna juga meminta saran kepada Neneh saat menjenguk Nari. Tasna malah mendapati mereka berdua menuangkan pendapat yang sama: Tasna harus menerima Araz.
Tasna pun bangun di sepertiga malam, ia melaksanakan salat tahajud dan salat istikharah ‘salat sunah supaya ditunjukkan Allah mana pilihan yang terbaik untuknya menurut Allah’. Ia benar-benar didera kebingungan yang sangat berat. Namun ternyata, Tasna tetap bersikukuh memilih menjanda lagi untuk selamanya. Ia pun memberi surat yang ia selipkan pada sebuah dokumen yang biasanya Araz tanda tangani.
“Tolong menikahlah dengan wanita yang lain. Karena saya tetap ingin menjadi janda untuk selama-lamanya. Jangan menunggu saya lagi. Sayangi dirimu.”
Kertas itu pun basah oleh hujan air mata milik sang lelaki setia. Ia teringat akan penyesalan terbesarnya yang menghadirkan Bambang ke dalam hidup Tasna. Araz meraasa dirinyalah yang telah menghancurkan Tasna dari luar dan dalam. Araz makin tersedu-sedu.
****
“Assalammu’alaikum. Babeh Yahya ada?”
Tasna termangu. Ia amat mengenal suara itu. Seketika Tasna menyesal membukakan pintu. "Duh, kenapa Nari pake acara lupa siapa nama yang bertamu tadi sih. Itu anak pasti sengaja pura-pura lupa deh, buat iseng jahilin Mamanya lagi. Kalau tau gini, aku ogah banget bukain pintunya." Tasna mengeluh dalam hati.
“Siape?” tanya Babeh Yahya, lirih. Ia baru saja dibangunkan oleh Nari dari tidur siangnya di hari Minggu itu.
“Beh, sehat?” Sebuah senyum tergambar manis di wajah sang tamu.
“Eh, die lagi?” kata Babeh, sedikit berseru.
“Hah? Lagi?” Tasna tambah ganar dibuatnya. “Maksudnya gimana, Beh?”
Tasna melirik Nari yang menutup mulutnya dengan satu tangan karena menahan tawa sambil masuk ke kamarnya.
“Ayo duduk, duduk.” Babeh mempersilakan tamu itu masuk.
Ia tiba-tiba masuk sambil mengeluarkan buket bunga yang ternyata ia sembunyikan dari tadi di belakang punggungnya. Membuat jantung Tasna makin tidak bisa diam, bahkan menabrak-nabrak tulang rusuknya. Rasanya napas itu hanya tinggal separuh saja. Apalagi tulisan yang ada di atas buket bunga mawar putih yang orang itu pegang terpampang terus di hadapan matanya. Mau tak mau Tasna tetap saja bisa membacanya berulang-ulang meski berpaling seperti apapun.
“Beh?” Tasna melirik Babehnya lagi.