Tasna Srikandi Betawi

Siti Mulia Al-Mufarrid
Chapter #23

Epilog

"Siape di sini yang namanya Srikandi dari Betawiiiiiii ...?!"

Hari itu adalah hari di mana Tasna dan Babeh Yahya sedang mengajarkan ajaran "Baik-baik" kepada para preman-preman terminal seperti biasanya. Mereka tengah beristirahat usai otak mereka penat dijejali beragam ilmu. Tasna yang sedang menyiapkan segelas kopi untuk Araz yang baru saja pulang dari olahraga tembak di Senayan terkejut dengan suara teriakan itu.

"Hooiiii ...!! Jawaaabb ...!!"

Ya. Seorang laki-laki yang tidak mengenakan pakaian atasan itu datang. Ia memakai kalung berbandul taring singa. Tubuhnya sangatlah atletis. Kulitnya yang sawo matang berkilatan di bawah terik matahari. Tampak keenam otot-otot terbentuk sempurna di bagian perutnya. Orang itu bertolak pinggang, celana cutbrai yang disertai ikat pinggang hitamnya melambai-lambai tertiup angin.

Adapun orang-orang di belakangnya berpenampilan rapi, rerata banyak memakai kaos polos berkerah yang hanya memiliki dua kancing saja di lehernya. Sebagian lagi kemeja yang dua tiga kancing teratasnya terbuka. Semua memasukkan bajunya ke dalam celana cutbrai mereka masing-masing. Beberapa penuh gaya bertesmak cokelat. Ada lagi yang bersyal warna biram.

Babeh Yahya keluar membenahi sarungnya kemudian ia mendekat ke telinga Tasna. "Itu, anaknye Penguasa Jakarta Pusat, yang melegenda ilmu kebalnye."

"Tau dari mane, Beh?"

"Tuh andeng-andengnye di idung nurunin Bapaknye banget." Tasna terkikih-kikih mendengarnya, tahi lalatnya memang agak besar hampir-hampir menutupi ujung hidungnya. "Kayaknya tu anak mao nguasain Jakarta Timur juga."

"Lah? Tapi kan Tasna bukan ketuanye preman Jakarta Timur, Beh."

"Iye, tapi yang kuat kan se-Jakarta Timur die taunye cuman Tasna."

Selesai berbisik-bisik, Tasna mengisiki Nari. Menyuruhnya masuk membawa Babeh Yahya ke dalam dan mengunci pintu. Nari menurut. Tasna juga menyuruh Araz yang tidak bisa bela diri untuk masuk. Namun Araz bersikeras tidak mau.

"Saye tanyaaa!!! Siape di sini nyang dikenal Srikandi dari Betawiiiiii ...!!" teriak orang itu lagi.

"Ayeeee, Bang!!" Tasna maju ke depan. Para preman terminal se-Jakarta Timur itu pun ikut berdiri mengiringi Tasna, bersiap melindungi bosnya tersebut.

"Tasna!" Araz yang tertutupi mereka di belakang melarangnya. Tasna menengok kepada suaminya itu dan dari kejauhan ia menggerakkan bibirnya membentuk kata 'gapapa' tanpa suara dengan sangat manis.

"Oh ini, orangnya yang belagu dan sok kagak mao ngaku preman padahal turunan preman itu? Cuih!" Orang itu meludah ke kiri. Salah satu kawanannya terkejut ludah itu mengenai dirinya yang jelas-jelas ada di sebelah kiri dari tadi. Orang itu menatapnya tanpa ekspresi. Yang ditatap menelan ludah sambil mengusap ludahan bosnya dengan tangannya sendiri.

"Kenalin!" Orang itu kembali fokus pada Tasna. "Nama aye Pi'i. aye udeh nguasain semua wilayah Jakarta!" teriaknya lagi.

Di era '80-an, Engkongnya memang betul menguasai Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Saat itu, Penguasa Jakarta Barat telah mati di dalam penjara, sehingga mudah baginya menaklukkan Jakarta Barat. Tersisalah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Meski Penguasa Jakarta Selatan telah mati di tangan Petrus namun ia memiliki calon keturunan penguasa yang tak kalah hebatnya. Dan butuh bertahun-tahun bagi Pi'i untuk menaklukkan Jakarta Selatan. Karena ilmu Pi'i adalah ilmu kebal, akhirnya setelah berjuang dan mengaku kalah, Jakarta Selatan pun takluk di bawah kekuasaan Pi'i. Tersisalah Jakarta Timur yang semrawut sejak tidak memiliki pemimpin. Mereka tidak mau diatur dan berpencar sehingga lebih sulit menaklukkan Jakarta Timur. Sebab urusan perut justru membuat mereka jauh lebih beringas dan menjadi individualis. Membuat mereka adalah raja bagi diri mereka sendiri.

"Jadi ... sisa Jakarta Timur aje ye Bang Pi'i yang belon? Ambil aja gidah, gratis. Saya mah gak menguasai apa-apa, Bang. Sungguh dah."

Pi'i sangat geram mendengarnya. Ia merasa terhina apabila mendapatkan Jakarta Timur dengan begitu mudah.

"E-eh jangan dong Bos! Jangan! Ntar yang ada kita kerja tapi duitnye lari ke die semua, Bos!!" kata Bang Junet yang maju mendekati Tasna.

"Iye, iye, betul banget Bos," timpal para preman terminal yang lain.

"Ogah banget hu hu. Tolongin kita, jangan ampe die berkuase dah. Kiamat dunia kita, Bos!"

"Bukannye kita dapet duit yang ada kita malah kelilit."

Mendengar itu semua Tasna pun berpikir. Ia tentu saja tidak ingin ada kezaliman lagi apalagi para preman-preman ini sudah mau mengikuti ajaran "Baik-baik" Babeh Yahya. "Terpaksa, aku harus maju jika itu bisa melindungi keberlangsungan hidup mereka!" pikir Tasna dalam hati pada akhirnya.

"Siaaaalaann!!! Siape tu yang ngomong gitu?!!"

"Bang Pi’i jangan marah-marah ngape. Pan, 'laa taghdob wa lakal jannah', Bang. Jangan marah bagimu surga kata Nabi kita," ujar Tasna menenangkan. Bukan tenang yang didapat, justru omongan itu membuat Pi'i makin tersinggung dan naik pitam. 

Lihat selengkapnya