"Bos, proposal buat alat masak udah approve nih."
"Bahan makanan juga."
Cerca tim gue di ruang rapat yang terasa sesak.
Rani yang kemarin melihat kejadian gue dan Rena masih bungkam. Ia sendiri masih bingung dan tidak berani bertanya.
Gue cuma bisa menghela nafas berat. Rani pun mengajukan diri, "Hari ini aku kesana lagi."
"Gue aja. Nggak... Berdua. Gue sama Rani," Rani mengangguk.
Selesai rapat kita pun langsung menuju kantor Taste of Youth.
"Bos, kemarin sebenarnya kenapa sih? Kalau boleh tahu."
"Rena teman waktu sekolah."
"Oh."
Tanpa sadar gue melanjutkan, "Dulu kita dekat, tapi gue juga nggak ngerti kenapa hubungan kita jadi rumit. Akhirnya pisah gitu aja."
"Mantan pacar rupanya."
"No... No teman aja kok."
Sesampainya disana gue dan Rani berhadapan dengan resepsionis. Rani yang maju berbicara, "Mbak, kita mau ketemu mbak Rena."
"Sudah ada janji temu?"
Rani mengerutkan kening. "Biasanya langsung aja mbak nggak pakai janji."
"Sekarang SOP-nya gitu Mbak."
Oh my god. Apa karena bertemu gue di mengubah SOP untuk berhati-hati tidak bertemu gue?
Karena kesal aku berteriak ke ruangan yang jelas itu ruangannya. Tepat di belakang resepsionis.
"Rena! Gue mau ngomong please."
Rasanya seperti orang bermuka tebal, gue nggak peduli orang-orang ngelihatin gue. Satpam sudah menarik bahu gue.
Rani ikut menahan gue.
Rena keluar dari ruangannya dengan wajah marah. Dia meminta satpam melepas gue hanya dari tatapan mata.
"Ren."
Dia meminta gue masuk ruangannya. "Ran, tunggu disini."
Ruangan itu sangat rapi. Disana banyak penghargaan.
"Mau ngomong apa?" Tanyanya di balik mejanya.
"Gue minta maaf."
"Aku maafin. Selesai kan? Silakan keluar, tolong jangan buat keributan."
"Ren."
"Tolong!" Hardiknya kesal.
"Apa sih yang udah gue perbuat ke lo. Well, gue tahu gue udah cuekin Lo terus padahal Lo baik banget. Tapi kenapa? Sampai kamu keluar kuliah, pindah keluar kota. Cerita ke gue!"