Tidak biasanya Ibu menelepon tengah malam. Awalnya tidak ada suara, tapi lama-lama terdengar tangisan. Gue kira ini telepon iseng tapi, gue kenal suara tangis Ibu. Bagaimana tidak, dulu hampir setiap hari di menangis. Siapa lagi dalangnya kalau bukan Ayah.
"Ayah kenapa lagi?"
"Zafran..."
"Ayah kenapa lagi?" Tekan gue.
"Ayah dipukulin orang."
"Ayah ngutang lagi?" Tanya gue menahan amarah.
Tangis Ibu semakin keras. Sudah pasti Ayah berhutang lagi. Apa lagi sekarang alasannya? Untuk bangun bisnis? Atau buat apa lagi sih? Nggak ada tobatnya nih orang tua.
"Ibu, Zafran udah nggak mau dengar alasan Bapak ngutang. Kalau perlu coret aja Zafran dari kartu keluarga. Malu Zafran sama Ayah."
"Zafran!" Tegur Ibu.
"Ibu kenapa sih masih bertahan saya Ayah? Ayah pendiam tapi bikin masalah terus. Zafran ini bukan bank yang ada duitnya terus. Zafran juga punya mimpi."
"Maafin Ibu nak."
Hati gue nggak kuat. Ketika kata maaf terucap dari mulut Ibu. Rasanya gue banjir dosa.
"Bu, besok Zafran telepon lagi. Sekarang Zafran capek"
Sebelum ibu menjawab gue langsung matiin teleponnya. Berharap telepon tadi cuma mimpi buruk.
Gue anak sulung dari tiga bersaudara. Adik gue yang kedua, Marsha udah nikah. Adik gue yang bungsu, Haris masih kuliah.
Harapan Ibu ya gue.
Ibu ngasih tahu kalau hutangnya sebesar 10 juta. Dan tabungan gue sekarang 12 juta. Great.
Gue pun langsung transfer uang itu. Dan pesan untuk Ibu, "Tinggalkan Ayah jika dia berhutang lagi. Anakmu tidak masalah orang tua berpisah."
Ibu tak menjawab.
Namun, seminggu kemudian..
Haris menelepon dengan suara yang lesu. "Ayah meninggal. Kecelakaan."