16 Juni 1885
Cuaca sejuk menyambut kehidupan manusia, matahari kini menggantikan bulan, dan atmosfer yang mencairkan embun. Dirasakan juga oleh keluarga Finn, yang kini tengah menyantap sarapan di bawah kemewahan di setiap sudut rumah, menyantap sembari ditemani lukisan besar khas rumah antik nan megah sudah menjadi hal biasa bagi keluarga Finn.
"Masakanku enak, bukan begitu, Finn?" tanya Laurenz Leoonard, ibu dari Finn.
"Yes, mama. Masakanmu selalu enak," puji Finn dalam senyuman manisnya, ia tak bohong akan hal itu, ibunya memang seperti koki profesional. Yang dipuji hanya membalas dengan senyuman hangat dan menambahkan lauk pauk ke dalam piring Finn, Finn menerimanya dengan senang hati.
Tak lama, ketukan pintu terdengar dari arah luar.
Tok ... Tok ... Tok
"Dat is papa, tolong bukakan pintunya," perintah ibu kepada Finn dan langsung dilaksanakan oleh Finn.
"Hey, papa. Kau baru pulang? Bagaimana prajurit baru mu? Apakah bertugas dengan baik?" sapa Finn dengan penuh pertanyaan begitu pintu terbuka. Namun, sang ayah hanya menatapnya dingin lalu mengabaikan kehadiran Finn. Terlihat ayahnya langsung menemui ibu dan berbincang kepada ibu lalu menampilkan raut wajah yang kaget.
Finn bingung lantas bertanya, "Ada apa?"
"Pergilah sekolah, sudah akan terlambat. Kau harus menjadi dokter yang tidak boleh terlambat," ujar ibunya sembari berancang-ancang untuk pergi serta masih dengan raut wajah yang kecewa.
"Mama," panggil Finn sebelum ibunya meninggalkan ruang keluarga.
Merasa terabaikan, Finn memanggil ibunya dengan sedikit keras. "Moeder!"
Berhentilah langkah sang ibu lalu membalikkan badannya ke hadapan Finn.
"Aku bilang aku tidak mau menjadi dokter! Aku hanya ingin menjadi arsitek, aku lelah jika terus mengikuti apa yang kalian mau! Aku lelah bersekolah di sekolah yang tidak aku mau." Kencangnya intonasi yang Finn ucapkan membuat ayahnya merasa tertantang.
"Pergilah jika kau ingin pergi!" final ayahnya, baru kali ini ayahnya bersikap begitu keras bak memperlakukan Finn sebagai prajuritnya.
Finn memandang ayahnya dengan wajah datar serta mata elangnya, wajah tegasnya menggambarkan emosi yang tersimpan rapi selama ia hidup. Tanpa membuang waktu yang ada, Finn mengiyakan perkataan ayahnya,
"Oké."
Ketika Finn tak lagi memperlihatkan batang hidungnya, barulah sang ayah memanggil ajudan yang sudah dipercayainya.
"Ada yang bisa saya bantu, Letnan. Albert Cornelis?"
"Ikuti anak itu," perintah Albert kepada ajudannya.
Di sisi lain dengan perasaan yang kacau, Finn segera menemui sang pujaan hati, Dahayu. Dikunjunginya rumah sederhana namun hangat, daripada rumah megah namun keparat. Terlihat jelas Dahayu yang sedang menjemur bajunya, Finn segera berlari untuk menemui si manis.
Finn berdiri di hadapan Dahayu seraya berkata "Dahayu! Oh God, aku merindukanmu." Jujur Finn kepada Dahayu.
Senyumannya yang teduh, tatapannya yang halus, wajar saja jika Finn selalu mencari Dahayu ketika ia memiliki masalah. Dahayu menerima pernyataan Finn dengan lembut.