Pilar tiba di rumah kosnya saat Nenek sedang menonton sinetron ditemani Lela yang asyik menggambar di sebelahnya. Begitu melihat Pilar, Lela langsung berlari mendekat. Anak itu memang senang bermain dengan Pilar, apalagi dengan Intan, karena mereka selalu perhatian dan suka membawakan oleh-oleh kecil untuknya.
“Hai anak baik, lagi ngapain? Waduh, tangannya belepotan gini, pasti lagi asyik ngegambar nih.”
“Iya dong,” jawab Lela sambil menarik Pilar untuk memamerkan gambarnya yang lain. “Yang ini dulu dibikinin Tante Intan.”
Itu hanya kalimat sederhana yang keluar dari mulut seorang bocah polos. Tapi seketika itu juga, kalimat tadi membuat hati Pilar terasa ngilu. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan pasti sampai juga ke wajahnya sehingga tak luput dari perhatian Nenek.
“Kok Intan nggak pernah ke sini lagi?” tanya Nenek.
Pilar hanya diam. Biar diam yang berbicara. Biar diam yang menjelaskan.
“Yang sabar.” Dua kata itu yang Nenek ucapkan selanjutnya. Tampaknya Nenek paham apa yang terungkap dalam diam.
Pilar masuk ke kamarnya dan menemukan Rian sudah berada di sana. Rian duduk di lantai sambil bersandar pada kasur. Kepalanya tertunduk, kakinya dilipat ke dada dan kedua tangannya merangkul lututnya. Melihat Rian di kamarnya membuat suasana hati Pilar makin buruk. Tapi bagaikan dua teman karib yang sudah biasa bertengkar, Rian seperti sudah tahu bahwa untuk sementara yang terbaik adalah diam dan membiarkan Pilar menenangkan diri dulu.
Pilar meletakkan tasnya di meja, menenggak air dari botol minumnya yang entah sudah berapa lama berada di sana, lalu duduk di kursi sambil melepas sepatu.
Setelah Pilar terlihat lebih tenang, Rian mulai berbicara, “I need your help, Man.”
“Lu nggak tau etikanya minta tolong ya?” Pilar masih kesal.