Papa Rian pulang dalam keadaan mabuk berat sehingga harus dipapah oleh sopirnya dan seorang wanita muda berpakaian seksi. Rian sedih melihat Papanya seperti itu tapi tak ada yang bisa dilakukannya.
Setelah direbahkan di kasur, supir tadi keluar dari kamar dan kini tinggal Papa berdua dengan wanita muda berpakaian seksi itu. Menyadari bahwa Papa Rian benar-benar tidak sadarkan diri, wanita itu mengambil sejumlah uang dari dompet Papa Rian lalu pergi begitu saja. Rian hanya tersenyum sinis melihat kelakuan wanita tadi.
Rian berdiri mendekat dan menyelimuti Papanya. “Pa..” Ada jeda panjang sebelum Rian melanjutkan. “What do I gotta do?” Rian terlihat putus asa. Dia duduk di lantai bersandar pada tembok di sisi kasur Papanya. Hanya diam memandangi.
***
Lampu kamar sudah dimatikan, AC sudah menyala dan Pilar sudah berbaring di kasurnya. Tapi matanya masih terbuka lebar memandangi foto-foto Intan di HP-nya.
Ya, untuk menghalau sepi, Pilar berbicara pada foto yang tak pernah merespon, dan earphone yang melekat di telinganya memperdengarkan Voice Note yang dulu sering dikirim Intan, “Sayang banget sama kamu, muuu-ah”, begitu katanya.
Dulu Intan memang sangat mencintainya. Dulu.
Tiba-tiba Rian muncul di kamar Pilar dan bertanya, “Menurut lu, kenapa gue masih di sini ya?”
Pilar kaget karena Rian sekonyong-konyong muncul seperti itu. Dia lekas menutup galeri foto di ponselnya dan memarahi Rian, “Woi setan, jangan suka nongol tiba-tiba kayak gitulah. Kalau gue jantungan terus mati, nanti nggak ada yang nolongin elu lho.”
Rian tertawa kecil. Pilar tidak jadi bersiap tidur. Dia turun dari kasurnya, mengeluarkan rokok dan korek dari tasnya, lalu menuju teras samping.
Kepulan asap rokok makin tebal, sesekali Pilar meneguk teh hangat yang dia buat.
“Tadi gue dari rumah bokap. Gue nyoba untuk ngobrol sama dia. Tapi gue benar-benar nggak tau apa yang mau gue omongin.”
“Lu sama bokap lu emang nggak pernah ngobrol, ya?” tanya Pilar heran.