Pilar tiba di kantornya. Dia langsung duduk di meja kerjanya dan menyalakan komputer. Tapi dia tidak langsung bekerja. Dia hanya terduduk melamun di sana. Dadanya benar-benar sesak dipenuhi percampuran rasa senang dan sedih yang aneh yang hanya bisa dipicu oleh Intan.
Senang karena walau hanya bisa melihat dari jauh, tapi itu lumayan mengobati kerinduan Pilar yang sudah begitu mendalam. Selain itu, melihat Intan menggunakan transportasi umum menuju kantornya membuat Pilar berpikir bahwa mungkin itu artinya Intan belum punya pacar, jadi tidak ada yang mengantarnya ke kantor. Semoga saja begitu. Semoga mereka bisa kembali bersatu.
Pilar penuh harap dan harapan itu membuatnya senang. Harapan itu membuatnya tersenyum sendiri. Namun, rasa senang itu tidak bertahan lama. Sedih pun hadir.
Biasanya aku bisa puas mandangain kamu dari depan sambil peluk kamu, lalu cium keningmu. Seenggaknya, mandangin kamu dari samping sambil gandeng tangan kamu tiap kali kita nonton di bioskop.
Sekarang aku cuma bisa mandangin kamu dari belakang, itu pun harus menjaga jarak. Memberi ruang untuk kamu. Membebaskan kamu.
***
“Man!” panggilan Rian membuyarkan lamunan Pilar. Pilar mendongak dan melihat Rian sedang melotot memandangi Indri; teman sekantor Pilar yang selalu memakai rok super ketat dan mini dengan blus berbelahan dada cukup rendah. “Ada yang beginian di kantor lu kenapa nggak lu sikat?”
Pilar hanya geleng-geleng kepala geli dan hendak kembali bekerja saat ponselnya berbunyi. Pilar memeriksa layar ponselnya; Kristal.
“Halo.”
“Hai, lagi sibuk, nggak?”
“Enggak juga.” Pilar mengambil rokok dari tasnya lalu pergi ke balkon.
Dari kejauhan, Rian memandangi Pilar yang tampak rileks saat bertelepon dengan Kristal. Cukup lama juga mereka berbicara, dan setelah selesai, Pilar tidak lekas kembali ke meja kerjanya. Dia membakar satu batang rokok lagi sambil memandang langit dari ketinggian gedung kantornya.