Sesuai rencana, Sabtu pagi ini Pilar datang menemui Papa Rian. Kini mereka sudah berada di ruang tamu. Kalimat demi kalimat yang harus disampaikan sudah disiapkan, tapi Pilar dan Rian tetap tegang. Rian mondar-mandir dengan gelisah sedangkan Pilar berkali-kali menarik napas panjang berusaha menenangkan diri. Pilar melihat sekeliling ruang tamu. Tak satu pun foto keluarga terpajang di sana. Bangunan mewah ini tidak terasa seperti rumah.
Papa Rian keluar dari kamarnya sambil membawa tablet. Pilar langsung berdiri untuk menyapanya dengan santun, tapi Papa Rian hanya mengangguk dingin sambil terus berjalan ke arah pintu depan. Sama sekali tak ada basa-basi atau sekadar menawarkan minum. Papa Rian persis seperti yang digambarkan Rian; hemat bicara, hemat senyum.
Setelah di dalam mobil, meski sama-sama duduk di kursi belakang tapi Pilar kesulitan untuk memulai percakapan, apalagi dengan adanya supir rasanya tak mungkin Pilar langsung mengatakan bahwa dia ingin menyampaikan pesan dari almarhum putranya.
Rian duduk di kursi depan di samping supir. Dia makin gelisah menunggu Pilar untuk mulai membuka obrolan. Dia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan bagi Pilar untuk mendapatkan kepercayaan Papanya. “Man, lu harus ngomong sekarang juga. Right now! Bokap gue bukan tipe orang yang mau ngasih kesempatan kedua. Dia malah bakal BT dan curiga lu mau manfaatin dia kalau besok-besok lu minta ketemuan lagi.” Rian mulai mendesak.
Pilar sedikit kesal karena didesak seperti itu, tapi dia memahami kegelisahan temannya. Pilar memutar otak mencoba mencari bahan pembicaraan.
“Om kantornya di mana?” tanya Pilar.
“Sudirman.” Papa Rian menjawab singkat tanpa dibubuhi keterangan lebih lanjut.