Urusan dengan Rian sudah selesai. Pilar juga tidak mengira akan semudah ini. Untung saja Papa Rian tidak banyak bertanya. Pasti akan sangat rumit kalau sampai harus menjelaskan bahwa arwah Rianlah yang mengirim Pilar untuk menemui Papanya.
Andai tadi kamu ada di sana, Mbel. Rasanya magis banget. Ya nggak persis seperti di film-film sih. Aku nggak ngelihat ada cahaya putih yang ngejemput Rian atau hal yang semacam itu, tapi.. Tapi rasanya tuh magis banget aja.
Aku senang udah bisa ngebantu Rian. Walau bawel dan resek tapi dia bukan orang jahat. Semoga dia tenang di sana dan semoga papanya juga baik-baik aja.
Pilar dan Intan terbiasa saling berbagi cerita tentang apa pun juga. Sulit sekali bagi Pilar untuk lepas dari kebiasaan itu. Tapi kadang dia bertanya-tanya, “Sulit jugakah bagi Intan?”
Tak bisa dimungkiri, pikiran untuk mengecek sosial media milik Intan sesekali memang menggoda. Itu sebabnya begitu putus, Pilar langsung meng-unfriend Intan dari Facebook. Tapi langkah itu dia ambil bukan atas dasar kemarahan apalagi kebencian. Bukan pula atas dasar keberanian untuk melanjutkan hidup. Itu dia lakukan justru karena dia pengecut. Terlalu takut suatu saat mendapati status Intan berganti menjadi ‘is married to’. Bahkan Pilar sempat mempertimbangkan untuk menghapus nomor telepon Intan dari ponselnya, karena mungkin suatu saat nanti foto profilnya menampilkan wajah Intan berbahagia dalam pelukan orang lain.
Jika itu terjadi, Pilar tidak akan bisa mengatakan “I’m happy for you.”
Pilar kembali kepada rutinitas akhir pekannya; merindukan Intan. Padahal, saat mereka masih bersama, akhir pekan selalu menyenangkan.
Malam minggu pertama yang mereka habiskan bersama terjadi lebih dari empat tahun lalu. Itu bukan kencan. Meski saling tertarik, tapi mereka belum berpacaran. Pilar tidak ingin terburu-buru. Dia tidak mau sekadar menjadi yang terpilih di antara sekian peminat. Dia ingin menjadi yang dipercaya dan diyakini oleh Intan kalau mereka memang serasi.