Tapi… Pukul 04:12 pagi harinya, Pilar terbangun karena notifikasi pesan teks yang bertubi-tubi. Walau tidak biasanya Intan mengirim pesan teks sepagi itu, tapi insting Pilar mengatakan itu pasti Intan. Rasa cemas langsung menyergap. Pilar mengusir kantuknya dan langsung menyabet ponselnya. Semoga bukan karena Intan sakit lagi, semoga dia baik-baik saja, semoga bukan berita buruk.
DELAPAN BELAS PESAN TEKS. Semuanya dalam kalimat pendek yang intinya menjelaskan keinginan Intan untuk mengakhiri hubungan mereka. Singkat, padat, jelas.
Cara yang luar biasa untuk cepat terjaga.
Pilar membacanya lagi. Kalimat per kalimat. Satu demi satu. Faktanya, sejak awal dia tidak salah baca. Intan minta putus. Dalam 18 pesan singkat itu, Intan menjelaskan alasan yang membuatnya tiba pada keputusannya. Dan Pilar hanya diam. Tidak bergerak. Tidak berkedip. Benar-benar diam.
Kenapa, Mbel? Baru juga semalam akhirnya kamu bilang “I love you” lagi ke aku. Baru juga semalam sikapmu normal lagi ke aku. Tapi pagi ini tiba-tiba…
Pilar berusaha mengenyahkan kenangan buruk itu. Dia menguatkan dirinya untuk duduk agar bisa makan. Kepalanya berputar hebat dan tenggorokannya sangat kering. Perlahan bubur itu dilahapnya. Dia harus makan. Tak mau jadi lebih merepotkan.
Jam dinding di ruang tengah terdengar berbunyi 11 kali. Pilar baru ingat dia harus mengabarkan ke kantor bahwa dia tidak bisa masuk kerja hari ini. Dia mencari-cari ponselnya, tapi tidak ketemu.
“Mas Pilar, HP-nya ketinggalan di motor, ya? Kayak ada suara telpon,” kata Mbak Mar dari depan pintu.
“Oiya, Mbak. Lupa saya.”
Pilar bergerak pelan berusaha turun dari kasur untuk mengambil ponselnya, tapi segera dicegah Mbak Mar yang tidak tega melihatnya, “Saya ambilin aja, Mas. Kunci motornya di mana?”
Pilar tidak berusaha menolak bantuan itu karena badannya memang terasa sangat lemas.