Sabtu telah datang, tapi tetap tak ada kabar dari Rian.
“Ya udahlah. Yang penting gue udah usaha,” pikir Pilar dalam hati.
Namun, tanpa sepengetahuan Pilar, ternyata Rian mendatangi mamanya di panti asuhan yang kemarin disebut Pilar.
Rian melihat mamanya menyayangi puluhan anak panti, mengajarkan mereka menggambar, mengajak mereka bermain. Ada rasa iri dan kerinduan di hati Rian.
Kemudian Rian melihat mamanya solat dan berdoa menyebut namanya, "Ya Allah, aku rindu anakku. Di manakah dia? Tolong jaga dia. Aku tidak akan berhenti memohon kepadaMu Ya Allah, tolong pertemukan kami. Tolong izinkan aku memeluknya, mencintainya, merawatnya seperti dulu. Ya Allah, tolong beri aku umur, jangan wafatkan aku sebelum aku bisa bertemu dengan putraku, Ya Allah.”
Amarah yang selama ini Rian pelihara, seketika cair. Dia menyesali jutaan detik yang telah dia lalui dengan membenci mamanya. Dia sungguh tidak menyangka. Di satu sisi, mamanya selalu memohon diberi umur agar bisa bertemu dengannya, di sisi lain Rian justru wafat dalam keadaan masih membenci mamanya.
Rian menangis sejadi-jadinya. Dia berlari memeluk mamanya. Namun, tak disangka-sangka, pelukannya menembus bagaikan udara. Rian mengulanginya lagi, tapi tetap tidak bisa. Rian pun mencoba menggerakkan dan mengangkat benda-benda yang ada di ruangan itu, tapi hasilnya tetap sama; tidak bisa.
Ini terasa bagai hukuman telak. Rian jadi menyadari bahwa selama ini dia menyia-nyiakan kemampuannya menyentuh dan menggenggam dengan hanya menggunakannya untuk menjahili Pilar. Dan kini, saat dia sangat ingin memeluk mamanya, kemam-puannya itu telah direnggut darinya.
Rupanya Pilar benar. Sudah sedemikian peliklah kondisi Rian, sudah kian dekat batas waktunya dan kian menipis kesempatan yang dimilikinya.
***