Pilar berjalan ke kubikelnya di saat teman-temannya sedang asyik berdiskusi tentang sesuatu.
“Nah, ini dia nih orangnya,” kata Zidan, dan mendadak semua mata tertuju kepadanya. “Pilar, weekend ini lu ikut, kan?”
“Ke mana?” tanya Pilar bingung.
“Astaga! Kan dari bulan lalu HRD udah ngumumin kalau bakal ada gathering ke Anyer.” Uta gemas.
“Oh, gitu ya? Sebentar, gue cek jadwal dulu.”
“Buset dah, Pilar. Side job-an mulu lu. Ayolah liburan dulu.” Edo membujuk.
Pilar hanya tertawa kecil sambil membuka kalender di ponselnya untuk mengecek jadwal deadline berbagai projectnya, tapi dia malah terpaku saat membaca catatan bahwa batas waktu bagi Rian untuk menyelesaikan urusan duniawinya tinggal empat hari lagi.
“Oi, gimana?” tanya Edo.
Sambil berdiri dari kursinya, Pilar menjawab, “Sori, gue nggak bisa ikut. Sori ya guys.” Lalu Pilar cepat-cepat berjalan ke balkon.
Fina tampak kecewa. Sudah lama sekali kantor mereka tidak mengadakan acara jalan-jalan bersama. Dulu selalu ada Intan di dekat Pilar, kini setelah tidak ada Intan, Pilar justru tidak ikut.
Ternyata Pilar buru-buru ke balkon untuk menelepon panti asuhan yang sering ada di postingan Facebook Mama Rian. Kepada pengurus panti, Pilar mengaku sebagai penulis yang sangat tertarik dengan sketsa-sketsa yang sering Mama Rian posting di Facebook-nya dan membutuhkan bantuan beliau untuk membuatkan ilustrasi bagi novelnya. Untungnya pengurus panti percaya dan mau memberikan nomor telepon serta alamat rumah Mama Rian.
Malam itu juga Pilar memutuskan untuk langsung saja mendatangi tempat tinggal Mama Rian. Dia tidak mempersiapkan apa pun selain tekad untuk membantu Rian menyelesaikan masalah duniawinya.
“Ya, sebentar.” Terdengar suara Mama Rian dari dalam rumah setelah Pilar mengetuk pintu. Pintu dibuka hanya sedikit karena Mama Rian tidak mengenali tamu yang datang. “Cari siapa?”
“Selamat malam, Tante Lana. Saya Pilar, kawannya Rian Winanta.”
Mama Rian sangat terkejut hingga napasnya tercekat. Rian muncul dibalik pintu. Ikut mengintip. Dia ingin tahu siapa tamu yang membuat mamanya tercekat.
Begitu Rian melihat Pilar, dia menjadi panik. “What the hell are you doing here? Mau ngapain lu ke sini? Ma, jangan bukain pintu, Ma! Jangan biarin dia masuk, Ma!” Tentunya Mamanya tidak acuh karena hanya Pilar yang bisa mendengar suaranya. Rian pun tahu itu, tapi karena kalut, dia berusaha berkomunikasi dengan mamanya dan melarang mamanya membiarkan Pilar masuk.
Pilar bingung mendapati Rian marah dan seolah ketakutan melihatnya datang. Dia memandangi Rian, mencoba memahami makna dibalik reaksi temannya itu.
“Kok bengong?” Pertanyaan Mama Rian menyadarkan Pilar.
“Oh, nggak Tante. Rumahnya nyaman. Saya suka.” Pilar beralasan.