Sejak pagi Pilar duduk menunggu di bawah rindangnya pohon, Mama Rian masih juga belum datang. Kini waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Sudah sekian batang rokok Pilar isap. Kedua kakinya terus digerak-gerakan. Pilar begitu resah. Ponsel sudah dia genggam di tangannya dan sudah membuka laman nomor telepon Mama Rian. Tapi Pilar ragu. Menurutnya, Mama Rian harus datang atas kesiapan hatinya sendiri, bukan atas desakan. Jadi, Pilar mengurungkan niatnya untuk menelepon Mama Rian. Ponsel kembali dimasukkan ke kantong celananya dan rokok kembali diisap.
Sore sebentar lagi tenggelam. Waktu Rian makin menipis. Pilar makin gelisah. Tidak ada pilihan lain. Pilar harus meneleponnya. Dia mengeluarkan ponsel dari kantong celananya dan sudah akan menekan nomor telepon Mama Rian saat tiba-tiba Rian menegurnya, “Man.”
Pilar mendongak, mengalihkan pandangannya dari ponsel kepada Rian yang sudah berdiri di dekatnya.
“Itu,” kata Rian sambil menengok ke arah pintu gerbang pemakaman umum.
Pilar melihat sebuah taksi memasuki gerbang dan perlahan mendekat. Lalu Mama Rian turun dari taksi itu.
“Akhirnya,” ucap Pilar. Pilar langsung mendekati Mama Rian dan membantunya berjalan. Dia tampak begitu lemah, matanya sembab karena menangis semalaman, bajunya pun masih sama persis dengan yang dia kenakan semalam. Mereka berdua sama-sama tidak bicara, hanya berjalan pelan mendekati makam Rian.
Tibalah mereka persis di depan makam Rian. Mama Rian memperhatikan nama yang tertulis di nisan; Rian Abraham Winanta. Lahir 12 Juni 1986. Wafat 9 Oktober 2020.
Perlahan Mama Rian berjongkok dan memeluk nisan Rian. “Mama kangen, Nak. Mama sayang Rian. Mama mau peluk Rian.”
Mama Rian menangis tersedu-sedan. Pilar terus berada di sampingnya, merangkulnya, sedangkan Rian berdiri di belakang nisannya. Rian sudah tidak lagi menangis. Air matanya sudah habis tak bersisa. Dia hanya memandangi dengan tatapan pilu.