Setelah puas naik bianglala, mereka bertiga turun dan langsung menghampiri Sita dan Dafa. Refleks, Dafa melepaskan rangkulannya dan Sita pun melakukan hal yang sama. Mereka pun menjadi canggung.
"Enak juga ternyata naik bianglala. Seperti Dufan versi mini," Gege memecah kesunyian.
"Baguslah, aku juga tadi naik beberapa putaran bersama Sita, ditambah beberapa putaran lagi bersama Fara dan Mira," Dafa berujar.
"Tadi aku udah ngajak Zidan, katanya dia lagi ga enak badan, jadi ga bisa ke pasar malam bersama kita," Gege menambahkan.
"Palingan juga dia mah tidur, dia kan ga bisa kalo tidur malam ataupun begadang," kata Mira.
"Kata siapa? Di Amerika dia bisa begadang beberapa malam berturut-turut hanya untuk mengerjakan tugas ataupun projek," kata Gege.
"Gege benar. Dia sedikit gila kerja kalo di sana. Kadang sampai lupa makan. Jadilah tepar. Aku dan Gegelah yang harus bertugas menjaga pasien," tambah Dafa.
"Dan kalo Zidan sakit, anehnya, pacarnya ataupun mantannya, ga ada yang nengokin dia, aku dan Dafa yang kerepotan," kata Gege.
Semuanya langsung terdiam mendengar perkataan Gege. Dan Gege baru menyadari, bahwa apa yang dia katakan adalah hal yang sangat sensitif buat Sita. Terlihat Sita langsung termenung. Tak mau menambah beban pikiran Sita, Dafa pun mengajak Sita pulang.
"Yuk ah lanjut lagi besok, kasihan yang kuliah ataupun yang kerja," ajak Dafa.
"Iya betul, aku dan Mira ada kuliah pagi, tapi mendadak lupa setelah sampai di pasar malam ini, maklum, dah lama ga keluar bareng kalian," kata Fara.
"Ayo kita pulang, Mir, kamu bareng aku aza ya, kan rumah kita searah," ajak Gege.
"Far, ga apa-apa aku bareng Gege?"
"Ga apa-apa. Santai aza. Jadi aku ga harus nganter kamu pulang, hehe."
Semuanya membubarkan diri. Dafa dan Sita mulai naik motor. Dafa melajukan motornya dengan lambat. Dia masih ingin bersama dengan Sita. Entah mengapa, keinginannya untuk menghibur Sita sangat besar. Dia ingin menjadi bahu untuk tempat Sita bersandar. Dia malah berpikir ingin melanjutkan kuliahnya di Indo. Dia tidak ingin melanjutkan kuliahnya di Amerika, padahal tinggal 2 tahun lagi. Tapi hatinya menolak kembali ke sana. Dia hanya ingin tetap di sisi Sita. Tak terasa, sampailah mereka di rumah Sita. Dafa bergegas masuk ke dalam rumah dan berpamitan pada kedua orang tua Sita.
"Om, tante, saya pamit dulu ya. Terima kasih sudah mengizinkan saya dan Sita keluar lagi."
"Ga apa-apa Dafa. Kapan lagi Sita keluar, dia jarang sekali keluar rumah. Paling kalau diajak Fara atau Mira. Itu pun hanya pas akhir pekan. Bunda rasa Sita juga butuh hiburan, kerja terus pastilah lelah."
"Kalian jadi ke pasar malam?" Juna bertanya.
"Jadi om, kebetulan Fara, Mira, dan Gege juga nyusul ke sana. Jadi kita ramai-ramai naik bianglala. Teringat masa kecil," Dafa menjawab sambil tersenyum.
"Baguslah kalo kalian menikmatinya. Bunda dan ayah ikut senang."
Dafa pun berpamitan pulang. Sita mengantar Dafa sampai ke depan.
"Besok pulang kerja aku jemput ya, aku mau mengajak kamu ke suatu tempat, aku yakin kamu pasti menyukainya."
"Kalau ayah dan bunda mengizinkan, aku akan ikut."
"Aku tadi udah bilang ama ayah dan bunda. Waktu kamu lagi ganti baju. Dan mereka mengizinkan."
"Ayah dan bunda selalu begitu. Kalo Mira dan Fara mengajak aku pergi, mereka juga tidak pernah melarang. Mereka berpikir aku anak rumahan dan anak rebahan alias malas ke mana-mana."
"Mereka hanya ingin kamu bahagia, Ta. Jangan kerja melulu yang dipikirin. Kamu juga butuh hiburan. Sampai jumpa besok ya. Kalo bisa kamu ga usah bawa motor ya."
"Oke. Aku akan minta Mira menjemputku kalo begitu."
"Sip."
Dafa pun berlalu meninggalkan rumah Sita. Dalam perjalanan, Dafa termenung. Dia teringat saat tadi di pasar malam. Sekelebat dia melihat bayangan seseorang yang dia kenal. Ya, dia merasa Zidan ada di sana. Tapi memakai masker dan topi. Tapi mana mungkin, pikir Dafa. Zidan kan sedang ga enak badan tadi kata Gege. Dafa pun tidak memikirkan lagi hal itu. Akhirnya dia sampai di rumah. Terlihat adik dan mamanya sedang menonton TV.
"Baru pulang nak?"
"Iya ma, tadi ketemu teman-teman, biasa kalo udah kumpul, suka lama."
"Kakak udah makan?" tanya Sandi, adiknya yang baru duduk di kelas 1 SMA.
"Udah tadi. Ini masih kenyang."
"Duduk sini nak."
"Kak Raisya ke mana ma?"
"Dia sedang sibuk merevisi skripsinya. Kuliahnya dah beres. Tinggal menunggu revisi, lalu wisuda. Kamu bisa datang kan enam bulan lagi ke Indo?" tanya mama Dafa, Resik.
"Insya allah bisa ma. Dafa lagi libur semester enam bulan dari sekarang. Jadi sepertinya dua minggu Dafa libur. Papa ke mana ma?"
"Papa udah istirahat. Pulang dari kantor, dia langsung ke kamar. Sepertinya papamu lelah. Dia menunggumu menggantikan posisinya di kantor. Kamu cepat bereskan kuliahmu ya nak."
"Baik ma, akan Dafa usahakan. Dafa ke kamar dulu ya."
"Istirahat ya nak. Sandi, kamu juga istirahat, besok kan sekolah pagi nak."
"Baik mama."
Dafa dan Sandi pun pergi menuju kamarnya masing-masing. Saat Dafa selesai berganti baju, ada notifikasi pesan di ponselnya.
"Kalo dah sampai rumah kabarin ya." Sebuah pesan masuk dari Sita.
Senyum kecil terbit di bibir Dafa.
"Aku dah sampai rumah Ta, tadi ganti baju dulu. Besok jangan lupa ya."
"Oke."
Percakapan pun berakhir. Dafa merebahkan diri dan sayup-sayup mulai masuk ke alam mimpi. Sita pun sama, dia mulai mengistirahatkan matanya setelah sebelumnya memberi kabar kepada Mira untuk menjemputnya besok pagi. Dan Mira pun bersedia.
Pagi harinya, Mira sudah tiba di kediaman Sita. Dia berpamitan dulu pada kedua orang tua Sita.
"Ayah, bunda, Mira pergi dulu ya."
"Hati-hati bawa motornya ya Mira, bunda khawatir."
"Oke bun."
"Sita juga pamit, ayah, bunda."
"Hati-hati nak, nanti jangan pulang terlalu larut ya," Juna menambahkan.
Mereka pun berlalu dari kediaman Sita. Mita baru menyadari ucapan Juna. Dia pun menoleh pada Sita.
"Kok ayah bilang gitu, Ta? Kamu mau ke mana nanti pulang kerja? Mencurigakan."
"Aku ada urusan sebentar, mau tahu aza urusan orang, kepo," jawab Sita.
"Oh jadi sekarang main rahasia, baiklah."
Mira terdiam. Rupanya, Sita masih bersedih. Dia masih menyimpan masalahnya sendiri. Dia dan Fara belum bisa membuat Sita bercerita panjang lebar. Belum ada waktu yang tepat, pikir Mira. Akan ada waktu nanya nanti sepertinya. Tak terasa mereka sudah sampai di kantor Sita.
"Makasih banyak Mira sayangku. Aku turun dulu ya. Ongkosnya nanti kapan-kapan aku traktir ramen ya."
"Oke. Aku selalu siap ditraktir oleh sahabatku, anytime babe."
"Bye."
Keduanya berpamitan. Sita pun mulai memasuki kantornya. Dia mulai melakukan pekerjaannya seperti biasa. Rutinitasnya setiap hari, pagi dia sarapan bersama keluarganya. Datang ke kantor setengah jam sebelum jam masuk, jadi dia masih ada waktu membuat kopi dan memeriksa laporan ataupun projek yang masuk. Setelah membuat kopi, dia termenung. Ingatannya kembali ke sepuluh tahun lalu. Saat dia baru saja mengalami cinta pertamanya, bersama Zidan.
Flash back on
Ruang chat antara Zidan dan Sita.
"Aku sangat mencintaimu, Sita. Aku mau kita bersama terus sampai tua. Aku akan membahagiakanmu."
"Aku juga begitu Zi."
"Aku akan menggapai cita-citaku dulu. Aku akan membahagiakan kamu Sita dan membuat bangga kedua orangtuaku."
"Aku juga akan menggapai cita-citaku. Aku akan langsung bekerja setelah kuliah dari SMK. Aku ingin membantu keluargaku. Kasihan ayahku kelelahan bekerja."
"Kamu ga akan kuliah, sayang?"
"Sepertinya tidak Zi, ayah memang menyuruhku untuk kuliah. Aku kasihan melihatnya kerja dan lembur hampir setiap hari. Adikku juga masih butuh biaya. Dia ingin menjadi guru."
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, aku hanya bisa mendukung sayang. Jangan lupakan aku ya. Aku ingin kita bersama selamanya. Walaupun orang bilang ini hanya cinta monyet, tetapi aku tidak merasa seperti itu. Aku benar-benar menyayangimu."
"Aku juga sama Zi. Kita kejar dulu cita-cita kita. Lalu kita membangun keluarga bahagia. Tak sabar menunggu waktu itu.
"Setelah sukses, aku akan melamarmu Ta. Tunggu aku ya."
"Aku akan menunggumĂș Zi."
Obrolan chat itu berakhir. Hampir setiap hari mereka bercerita. Apa pun mereka obrolkan. Masalah tugas sekolah, keluarga, hobi, dan yang lainnya. Keduanya merasa nyaman satu sama lain. Sampai pada suatu hari ayahnya Sita membaca chat mereka. Dan runtuhlah dunia Sita saat itu juga. Dia hanya bisa menangis dalam diam. Berat memang, di usia yang masih muda, harus memilih antara orang tua dan kekasih hati. Dia pun memblokir Zidan secara tiba-tiba dan mulai menjauhinya. Sita tahu Zidan marah padanya, tapi Sita juga tidak berusaha menjelaskan. Percuma, begitu menurut Sita. Kalaupun dijelaskan, tidak akan ada jalan keluar. Itu yang ada di pikirannya sebagai anak kelas 5 saat itu. Dia juga tidak bercerita kepada Fara dan Mira. Takut mereka ikut terseret masalahnya.
Flashback off
"Pagi-pagi udah melamun. Seperti biasa." Bapak Zein, menegurnya.
"Eh bapak sudah datang. Ga ngelamun pak. Lagi memikirkan projek kita selanjutnya."
"Ya sudah. Siapkan bahan untuk meeting dengan perusahaan properti yang akan kita kunjungi nanti setelah makan siang. Beliau sudah menunggu."
"Baik pak."
Siang nanti, Sita akan menemani atasannya untuk melakukan kerja sama dengan salah satu perusahaan properti. Sita sudah terbiasa melakukan hal itu. Menurut atasannya, dia masih mencari seorang asisten, tapi sampai sekarang dia belum menemukannya. Kalau dia sudah menemukan asisten, ke mana pun dia pergi, Sita tidak harus ikut. Dia cukup standbye di kantor.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam makan siang. Sita pun pergi ke tempat makan biasa, bersama teman kantornya, Rifa dan Syifa. Mereka kenal sudah 3 tahun, saat Sita mulai bekerja di sana. Mereka berada di divisi marketing.
"Kita mau makan apa hari ini?" tanya Syifa.
"Aku mau makan nasi rames ah, bosen makan ayam terus. Sekali-kali makan nasi campur," Rifa menjawab.
"Aku juga sama kaya Rifa ah. Udah lama ga makan rames."
"Okeylah. Kita makan di tempat biasa ya," kata Syifa.
Mereka pun menuju tempat makan biasa. Tempatnya hanya berjarak 5 menit dari kantor.
"Biasa ama ayam neng," tanya Ceu Lilis, pemilik warung nasi itu.