Di kediaman Wina, ada yang sedang senyum-senyum sendiri. Wina senang, akhirnya setelah bertahun-tahun, Zidan mau menerima ajakannya keluar, walaupun hanya makan malam. Setidaknya ada progress. Entah mengapa, di antara puluhan lelaki yang pernah hinggap di hatinya, hanya satu yang sangat spesial, Zidan Mubarak. Lelaki dingin sejak SMP dan SMA, yang paling sulit dia taklukkan.
"Ri, kamu masih inget ga ama Zidan?" tanya Wina pada sahabatnya, Ria.
"Lelaki sok dingin itu. Siapa yang bakalan lupa ama lelaki kaya gitu."
"Aku tadi abis makan malem ma dia."
"Beneran Ri. Lihat dong statusku."
Ria pun langsung menghentikan chatnya dengan Wina dan melihat status Wina.
"Ini beneran kamu ama Zidan?"
"Bener dong, masa bohong, ga seru."
"Dia dah ga kaku?" Tanya Ria.
"Masih sama. Entah apa yang membuatnya ingin keluar denganku kemarin malam. Aku aza ampe kaget." Jawab Wina.
"Kamu ketemu di mana ama dia?"
"Ga sengaja lihat status Gege. Dia ada di Indo. Kupikir Zidan juga mungkin ikut ke Indo. Eh ternyata bener, pas aku ke rumahnya, dia ada di sana."
"Terus?"
"Aku ajak dia keluar. Awalnya dia kaya yang bingung, tapi langsung mengiyakan dan mengajakku ke pantai."
"Kok ke pantai sih? Ga seru ah. Kenapa ga ke bioskop atau mal sih Win?"
"Dia yang ngajak ke pantai. Mana mungkin aku menolak. Kapan lagi diajak dengan suka rela oleh manusia dingin kaya gitu."
"Kamu tuh suka beneran ama dia atau hanya terobsesi ingin menaklukkan aza sih Win?"
"Entahlah. Yang pasti aku harus bisa dapetin dia. Hanya dia satu-satunya lelaki yang dengan terang-terangan menolakku. Kapan aku ditolak lelaki, aku selalu bisa mendapatkan apa yang aku mau."
"Hmmm. Ini baru permulaan Win. Baru awal. Gimana kalo dia masih tetep dingin?"
"Aku ga boleh nyerah. Aku akan terus berusaha. Minggu depan dia dah balik ke Amerika. Aku memintanya datang ke acara wisudaku beberapa bulan lagi, tapi dia mengatakan ga bisa datang ke Indo."
"Kenapa?"
"Katanya jadwalnya di sana padat. Kuliah plus harus meneruskan bisnis keluarganya. Jadi dia mulai mengerjakan beberapa projek."
"Sepertinya masa depan cerah nih."
"Pasti dong. Semoga dia ga tahu track recordku di Indo. Semua kelakuan burukku di sini, kuharap dia ga tahu."
"Banyak berdoa Win, kan temannya Zidan bukan hanya Gege dan Dafa."
"Semoga saja. Aku sudah lelah berkelana dari satu lelaki ke lelaki lain. Aku ingin serius menjalaninya bersama Zidan."
"Good luck deh Win."
"Thanks ya. Kamu emang sahabatku yang paling baik."
Percakapan pun terhenti sampai di sana. Wina memandangi profil Zidan. Ganteng, pikirnya. Lalu, dia pun berinisiatif menghubungi Zidan. Wina pun mulai menulis pesan singkat di WA.
"Zi, besok ada waktu?"
"Kenapa?"
"Kita ke mal yuk, mama ulang tahun lusa."
"Jam berapa?"
"Jam 10 kali ya. Nanti aku ke rumahmu ya."
"Ga usah. Aku aza nanti yang jemput kamu."
"Okey, aku tunggu ya Zi."
"Ok."
Wina girang bukan main. Ada untungnya juga mamanya lusa ulang tahun. Dia jadi ada alasan membeli kado. Pagi harinya, Sita seperti biasa sarapan bersama keluarganya. Adiknya juga ikut sarapan.
"Kamu bawa motor hari ini nak?" tanya Juna.
"Iya ayah. Hari ini aku ga ke mana-mana sepertinya.
"Dafa ga mengajak keluar lagi?" tanya Jihan.
"Ga kayanya bun, mungkin dia juga ada acara bersama teman-temannya yang lain."
"Kak, aku nebeng ya, lagi males naek angkot, boleh ya?" Reyna, adiknya, bertanya pada Sita.
"Boleh dong adikku sayang. Yuk, kita berangkat. Pake helm ya, biar nanti helmnya kakak bawa."
"Kak, jangan lupa pake jaket. Anginnya lumayan besar." Jihan menambahkan.
"Baik bun. Kami berangkat dulu ya, ayah bunda."
Keduanya pun berangkat bersama. Sita mengantarkan adiknya dulu ke sekolah, barulah dia melajukan motornya ke kantor. Sesampainya di kantor, dia mulai ke pantry dan menyeduh kopi. Di sana sudah ada Syifa dan Rifa.
"Tumben duluan kita, Ta."
"Aku anter adikku dulu sekolah Rif."
"Biasanya naek angkot kan dia," kata Syifa.
"Iya, lagi males naek angkot katanya hari ini. Lagi manja, hehe."
"Biar kakaknya nganter sih itu."
"Ya, jarang-jarang dia minta anter. Ga apalah sekalian juga."
Setelah bercakap-cakap, mereka pun kembali ke mejanya masing-masing. Saat Sita sedang menatap layar komputernya, Pak Zein baru saja datang. Dia pun menghampiri meja Sita.
"Jangan lupa jam 9 lebih kita ke mal. Saya tunggu di lobi."
"Baik pak."
Sita pun melanjutkan pekerjaannya. Karena dia akan keluar dengan bosnya lebih pagi, dia harus membereskan laporan yang tertunda beserta jadwal sang atasan ke depannya.
Sementara itu, Gege menatap layar ponselnya. Dia menebak-nebak apa yang akan dibicarakan oleh Mira. Semalam Mira mengiriminya pesan.
"Ge, besok bisa jemput aku ga ke kampus? Aku ga bawa motor."
"Oke. Jam berapa?"
"Jam 10an kayanya. Kita langsung jalan-jalan yuk ke mal. Dah lama ga jalan. Aku juga mau ajak Fara, sekalian ada yang mau aku bicarakan.
"Oke. Nanti aku ajak Zidan ma Dafa. Semoga mereka bisa."
"Oke. Sampai jumpa besok ya."
"Oke."
Gege pun menghubungi Zidan dan Dafa. Dia menghubungi Zidan terlebih dulu.
"Zi, besok mau ikut hang out ma Fara dan Mira?"
"Ga bisa kayanya Ge, aku ada urusan."
Zidan ga bisa bilang pada Gege bahwa besok dia janjian ma Wina. Dia terlalu malu mengakui hal itu. Takut dibully temen-temennya. Ada juga takutnya seorang Zidan.
"Oke ga apa. Lain kali kita keluar bareng ya."
"Oke."
Lalu, Gege pun menghubungi Dafa.
"Besok ada acara ga Daf, Mira ma Fara ngajak keluar ?"
"Besok ga bisa, kakakku minta aku mengantarnya ke suatu tempat."
"Oke kalo gitu. Lain kali harus bisa ya." Pinta Gege.
"Oke."
Gege bersiap menjemput Mira di kampusnya sesuai waktu yang sudah ditentukan tadi malam. Dia menunggu di gerbang kampus. Tak lama dari itu, Mira bergegas keluar dari ruang kelasnya dan langsung keluar. Di sana, Gege sudah menunggu di dalam mobilnya.
"Sore telat dikit Ge, dosen ngasih tugas tambahan."
"Ga kok, aku juga baru nunggu 5 menitan."
"Fara kayanya langsung ke kafe di mal yang udah kita bicarakan tadi malem. Dafa ma Zidan jadi ikut?"
"Mereka ada acara sendiri. Lain kali aza katanya." Bagus, dalam hati Mira bersorak. Jadi hanya dia, Gege, dan Fara. Waktu yang pas buat membahas Sita, Zidan, dan Dafa.
"Baiklah."
"Yuk berangkat."
"Oke."
Di perjalanan, mereka melanjutkan obrolan.
"Kuliahmu gimana Mir, kapan wisuda?"
"Tahun depan kayanya Ge, bareng ama Fara."
"Kamu ada kesulitan ga?"
"Cuma lagi nyari bahan buat skripsi aza, ma nyari tempat magang."
"Kalo kamu mau, kamu bisa magang di kantor ayahku. Nanti aku bicara dengan beliau."
Papanya Gege, Geri, memiliki sebuah perusahaan penerbitan yang cukup besar di kota ini. Penerbitannya pun ga kaleng-kaleng, udah menerbitkan beberapa buku yang best seller.
"Serius Ge, mau dong. Kali aza aku ditarik jadi karyawan setelah proses magangku beres, hehe."
"Nanti aku ngobrol dulu ma papaku ya."
"Oke Ge."
Mereka pun sampai di mal yang dituju. Keduanya berlalu dari tempat parkir dan naik ke lantai atas. Saat akan memasuki kafe, terlihat Fara sudah duduk manis di sebuah meja yang ada di pojok. Dia sedang menyesap kopinya.
"Ge, Mir, sini."
"Tuh Fara, yuk kita ke sana."
"Oke."
Mereka pun duduk di meja yang sama dan mulai memesan minum dan camilan. Makanan berat sepertinya kurang pas karena masih belum waktunya makan siang.
Di kantor Sita, setelah selesai mematikan komputernya, Sita bergegas ke lobi. Pak Zein sudah menunggu. Mereka langsung pergi bersama sopir.
"Kira-kira, hadiah apa yang pas buat Rachel ya, Sita?"
"Rachel sukanya apa pak?"
"Boneka di rumah udah banyak, mainan juga."
"Gimana kalo liontin pak?"
" Dia udah punya."
"Kalo sepatu?"
"Numpuk di rak, Ta."
" Baju mungkin."
"Apalagi itu, lemari udah penuh."
"Kalo gelang gimana pak?"
"Hmmm. Rachel memang belum punya kalo gelang. Terakhir dibelikan istri saya, malah putus."
"Belinya jangan yang rantai pak."
"Oke. Kita nanti langsung ke toko perhiasan aza Ta."
"Oke pak."
Mobil pun sampai di tempat parkir. Sopir menunggu di mobil, sedangkan Sita dan atasannya langsung naik lift ke atas.
Tak jauh dari sana, Zidan baru saja keluar dari mobil diikuti Wina. Mereka juga akan mencari hadiah untuk mamanya Wina.