PagiĀ itu Sita bergegas sarapan lalu berangkat ke kantor. Dia harus berangkat lebih pagi karena kemarin sudah bolos setengah hari. Dia melajukan motornya agak cepat tapi tetep berhati-hati. Akhirnya, sampai juga dia di kantor. Masih tiga perempat jam menuju jam masuk, pikir Sita. Untungnya kemarin semua pekerjaannya telah selesai. Jadi dia tinggal menunggu pekerjaan baru. Biasanya Pak Zein akan menyimpan pekerjaan di mejanya. Dan benar saja, beberapa dokumen sudah menumpuk di mejanya. Dia bergegas membuat kopi dan membawanya ke mejanya. Matanya fokus pada komputer dan dokumen yang harus dia revisi. Sambil meminum kopi dan mendengarkan musik, dia pun mulai bekerja. Tak terasa waktu makan siang tiba. Saat sedang membereskan dokumen yang sudah selesai dikerjakan, seorang office boy membawakannya sebuah plastik. Seperti makanan siap saji, pikir Sita.
"Bu Sita, ini ada paket."
"Makasih pak." Perasaan dia tidak memesan makanan. Dia berencana akan keluar makan siang bersama Syifa dan Rifa. Dia pun membuka plastiknya. Ada menu makan siang favoritnya, nasi goreng seafood. Lalu, Sita membaca catatan yang tertempel di plastik luar makanan tersebut.
"Aku ga bisa menemuimu hari ini. Banyak hal yang harus kuurus sebelum keberangkatanku kembali ke Amerika. Jangan lupa bahagia."
-Dafa Prasetya-
Ternyata dari Dafa, gumam Sita. Dia lalu memberi kabar kepada dua temannya dan mengatakan bahwa dia ga bisa makan siang bareng hari ini. Sita pun iseng memposting makanan tersebut di statusnya.
"Makanan yang spesial, dari seseorang yang spesial."
Lalu, dia pun mulai memakannya. Sambil makan, dia melihat ponselnya. Ada beberapa komen soal statusnya. Dan tentu saja yang paling ramai adalah obrolan di grup Mentari.
"Huhuy, ada yang mengirim sesuatu nih ke Sita, siapa ya?" Gege seperti biasa, mengawali obrolan.
"Misterius ya Ge," Mira menambahkan.
"Sepertinya ada yang mulai-mulai sesuatu nih," Fara terang-terangan menebak.
"Kalian mau tahu aza urusan orang. Rahasia." Sita menjawab.
Entah mengapa saat membaca obrolan itu, mood Zidan jadi berantakan. Niatnya akan pergi ke kantor maminya, urung dilakukan. Dia menjadi malas untuk melakukan apa pun. Dia pun memutuskan untuk tidur saja, semoga nanti saat bangun, mood-nya sudah membaik, pikirnya.
Saat selesai makan dan keluar dari musola, Sita melihat Syifa dan Rifa sudah berdiri di dekat mejanya. Tumben nih, pikir Sita. Ada apa mereka berdua kemari.
Ta, dari musola ya? Kita baru mau ke sana, ya ga Rif?" kata Syifa.
"Iya, baru beres."
"Kamu dah dapet tugas belum dari bosmu?" Rifa bertanya.
"Tugas apa?"
"Nanti malam ada acara jamuan makan malam, semua perusahaan properti diundang. Aku dan Syifa mewakili divisi marketing."
"Belum ada instruksi sih. Biasanya kalo gitu, Pak Zein yang akan datang sendiri, ga perlu diwakilkan."
"Ya, kita cuma pergi berdua dong."
"Iya, ga seru ah," kata Syifa. "Denger-denger, karyawan dari beberapa perusahaan duh ganteng-ganteng. Kita bisa cuci mata deh, perut pun kenyang."
"Selalu deh, itu aza yang dicari. Udah sana kalian mending ke musola, sebelum waktu istirahat abis. Aku mau lanjut kerja." Sita pun melanjutkan pekerjaannya. Tak lama, Pak Zein memanggil ke ruangannya.
"Bapak manggil saya?"
"Iya, duduk."
"Baik pak."
"Malam ini ada undangan jamuan makan, semua perusahaan properti akan hadir. Saya ada acara malam ini bersama nyonya dan Rachel, saya ga tega untuk membatalkannya. Saya minta kamu datang untuk mewakili saya."
"Acaranya di mana dan jam berapa ya pak?"
"Di sebuah hotel, mulai jam 7 malam. Nanti saya kirim nama hotel dan alamatnya."
"Baik Pak. Ada lagi?"
"Udah itu saja."
"Saya kembali ke meja saya pak, permisi."
Sita pun kembali ke mejanya. Ternyata, Pak Zein ga bisa datang ke acara itu. Dan dengan terpaksa aku harus mewakilinya. Padahal rencana malam ini mau rebahan aza, pikir Sita. Karena beberapa hari kemarin, setiap hari Sita selalu keluar.
"Rif, aku diminta datang ke jamuan makan malam itu mewakili Pak Zein. Beliau berhalangan hadir." Sita mengirim pesan kepada Rifa.
"Asyik. Akhirnya kita bisa pergi bertiga. Nanti aku kabari Syifa ya. Kita janjian aza di sana jam 7 malam oke."
"Oke."
Saatnya bekerja kembali, pikir Sita. Semoga di acara itu, dia tidak bertemu dengan orang-orang yang membuatnya sebal. Dia ingin makan dengan tenang. Teringat ucapan Dafa saat mengantarkan makan siang, jangan lupa bahagia. Ya, dia harus bahagia malam ini. Makan malam dengan tenang bersama teman-temannya. Saat waktu menunjukkan pukul 16.00, Sita bergegas pulang. Sesampainya di rumah, dia beristirahat sebentar dan merebahkan diri. Saat terbangun, ternyata sudah mau magrib. Aku ketiduran, pikir Sita. Sita pun bersiap untuk menunaikan kewajibannya. Setelah selesai, Sita bersiap untuk pergi ke hotel. Sita menuju ruang keluarga. Ayah, bunda, dan Reyna sedang menonton televisi.
"Udah rapi nak, mau pergi?" tanya Juna.
"Iya ayah. Pak Zein memintaku mewakilinya untuk menghadiri acara jamuan makan dengan beberapa perusahaan properti di sebuah hotel."
"Kamu pake motor?" tanya Jihan.
"Iya bun, seperti biasa."
"Sudah malam, biar ayah antar ya. Jangan protes oke," Juna bersiap sebentar dan pergi ke garasi.
"Udah, lebih aman diantar ayah. Jangan ngomel-ngomel ya sayang," ujar Jihan.
"Baik bun. Aku pergi dulu ya bunda, dah Reyna."
Juna mulai mengeluarkan mobil dari garasi. Tadinya Juna berniat akan mengantar Sita memakai motor. Tapi berhubung malam, Juna pun akhirnya mengantar Sita dengan mobil. Tak sampai 20 menit, mobil Juna sudah sampai di parkiran hotel.
"Makasih ya ayah, sudah mengantar."
"Sama-sama. Tar kalo mau dijemput kabarin ayah ya. Ayah akan langsung ke sini."
"Baik ayah," Sita masuk ke dalam setelah berpamitan pada Juna.
Sesampainya di dalam, Sita sudah melihat Syifa dan Rifa duduk manis di lobi. Sita pun menghampiri mereka.
"Kalian udah lama nunggu?"
"Baru sepuluh menit, tumben kamu telat?" tanya Syifa.
"Aku dianter ayah, pake mobil, jadi agak lama nyampenya. Aku sih pengennya dianter motor, biar cepet. Tapi kalian tahu sendiri ayahku." Kata Rifa.
"Pantesan. Klo aku sih tadi pake motor, dijemput Rifa, hehe, jadi lebih cepet sampainya."
"Yuk kita masuk," Rifa mengajak keduanya masuk ke dalam ballroom. Ruangannya yang luas, sepertinya mampu menampung sekitar 1.000 orang. Mereka bertiga lalu mengambil minuman dan mulai memperhatikan sekeliling. Mata Syifa dan Rifa mulai menyisir para lelaki yang ada di sana. Sedangkan Sita, dia hanya duduk dan menikmati minumannya. Dia harus mulai membahagiakan dirinya sendiri, pikirnya.
Tetapi, pandangan Sita beralih pada seorang lelaki dan perempuan yang ada di tengah ruangan. Sepertinya dia familiar dengan wajah perempuan itu. Dan ternyata benar, itu adalah Wina, perempuan yang memakai gaun merah menyala, dia sedang bercakap-cakap dengan seorang lelaki memakai jas abu.
"Rif, sini deh. Kamu tahu ga lelaki berjas abu itu? Yang ada di tengah ruangan." Tanya Sita.
"Yang sedang memeluk pinggang seorang perempuan bergaun merah cabe?" tanya Rifa.
"Iya betul."
"Itu CEO perusahaan properti Black Lion. Namanya udah banyak dikenal masyarakat, Pak Jason Mahendra. Perusahaan yang lagi naik daun, masa kamu ga tahu, Ta?" tanya Rifa.
"Yang pernah kerja sama dengan perusahaan kita?"
"Iya betul, tapi ga lama sih, cuma dua bulan kalo ga salah."
"Oh begitu ya."
Sita pun mulai mengambil foto Wina dan lelaki itu. Seorang CEO muda, ganteng lagi, mana mungkin Wina menolaknya. Sita mengambil gambar mereka berdua hanya untuk diabadikan saja. Barangkali suatu saat dia membutuhkannya, pikirnya.
"Kamu suka sama CEO Lion itu. Kamu ga lihat dia udah ada gandengannya, Ta?" Rifa berbisik.
"Enak saja, aku cuma pengen tahu aza. Itu cewek temen sekolah aku dulu Rif."
"Oh temen kamu. Kenapa ga kamu sapa?"
"Males ah, orangnya agak rese. Di sekolah aza dulu, ampir semua anak sebel ama dia."
"Padahal dilihat-lihat dia lumayan cantik ya, kok sikapnya ga sesuai dengan wajahnya. Hmmm."
"Dah ga usah dipikirin. Ayo ajak Syifa, kita makan. Lihat menunya, menggugah selera semuanya."
"Oke deh, tunggu ya."
Rifa mulai mencari-cari Syifa. Ke mana ya tuh anak. Ternyata Syifa ada di bagian timur ruangan. Dia sedang memegang minuman dan bercakap-cakap dengan seorang lelaki memakai kemeja biru.
Tunggu-tunggu, pikir Rifa. Dia mengenali lelaki itu. Ya, dia adalah salah seorang staf marketing di perusahaan Buana Putra, perusahaan yang dipimpin Pak Redi.
"Dicari-cari, malah mojok di sini," kata Rifa.
"He he, kebetulan ketemu ama Reza, kamu inget ga? Dari properti Buana Putra?" jawab Syifa.
"Reza," lelaki itu mengulurkan tangan kepada "Syifa," jawab Syifa sambil menyambut uluran tangan Reza.
Tak lama, seorang lelaki memakai kemeja hijau menghampiri mereka.
"Za, ternyata kamu di sini," ujar lelaki itu.
"Iya, kebetulan ketemu ama Syifa dan Rifa dari perusahaan Mega Data. Kamu masih inget ga? Yang dipimpin Pak Zein," kata Reza.
"Oh iya, ampir lupa. Kita pernah kerja sama beberapa kali kan dengan Mega Data, Za?" Tanya lelaki itu.
"Iya betul. Syifa, Rifa, kenalin, ini temenku, sama juga divisi marketing, Bian."
"Syifa."
"Rifa."
"Bian."
Keempatnya pun bercakap-cakap dengan asyik. Dari mulai masalah pekerjaan dan yang lainnya. Syifa dan Rifa pun sampai melupakan Sita.
Sementara di tempat duduk Sita, dia menunggu teman-temannya sambil memakan camilan. Wah, enak semua, pikir Sita. Saat dia akan mengambil minuman, seseorang mengulurkan tangannya dari arah belakang dan memberinya gelas berisi minuman. Refleks Sita menoleh ke belakang. Ternyata, orang itu adalah Dafa. Tak disangka mereka bertemu di sini.
"Minum dulu, nanti keselek." Kata Dafa.
Sita pun mengambil minuman itu dan menghabiskannya. Lalu Dafa membisikkan sesuatu di telinga Sita.
"Mungkin kita berjodoh, selalu bertemu di mana pun. Seperti kata pepatah, kalo jodoh ga akan ke mana."
Dengan pipi merona, Sita mencubit Dafa. "Bercanda terus kamu ini. Kok kamu bisa ada di sini?" Sita mulai mengalihkan pembicaraan.
"Apa kamu lupa, papaku juga pemilik perusahaan properti, Sita. Pras Corp. tentu saja diundang ke acara ini. Gini-gini aku juga anak pemilik perusahaan properti loh, hehe," balas Dafa.
"Aku hampir lupa. Kalian bertiga kan anak sultan, hehe." Sita menyahut."
"Ga usah nyindir deh. Aku cuma anak kuliahan yang belum membereskan studinya. Masih panjang jalanku menjadi sultan."
"Tapi suatu saat pasti kamu akan jadi penerus perusahaan papamu kan."
"Sepertinya begitu." Raut wajah muram Dafa mulai terlihat. Lelaki yang memakai jas biru tua itu terlihat murung. Mungkin dia merasa terbebani harus meneruskan perusahaan papanya.
"Ayo kita makan Daf. Aku tadi ke sini bertiga ama Syifa dan Rifa. Tapi entah ke mana mereka berdua. Pergi tanpa pamit."
"Kamu mau makan apa?"
"Semua yang ada di sini sangat lezat. Sayang untuk dilewatkan. Yuk." Ajak sita.
Setelah mengambil beberapa makanan, mereka duduk di kursi sebelah barat. Pandangan Dafa menelisik seluruh ruangan. Deg, pandangannya tertuju pada seorang perempuan memakai gaun merah menyala.
"Itu kaya Wina?" Tanya Dafa.
"Iya bener Daf. Dia datang bersama CEO Black Lion." Jawab Sita.