Sita masih menangis. Dafa dengan sabar meminjamkan bahunya seperti biasa. Dafa tidak mau mengatakan sesuatu yang akan menyakiti Sita. Dia hanya terdiam.
"Kenapa Daf? Tak puaskah dia sudah menyakitiku selama ini? Hampir 10 tahun aku terluka. Saat dia kembali ke Indo pun, dia malah membuatku semakin terluka dengan keputusannya. Aku mencoba menerima keputusannya. Bahwa tidak ada lagi 'kita' di antara kita berdua. Sakit Daf."
Dafa mengeratkan pelukannya. Bingung harus bagaimana.
"Kenapa sekarang dia mengatakan seolah-olah tidak terjadi sesuatu di antara kita. Rindu katanya, bullshit." Cecar Sita.
"Kalau dia masih memiliki perasaan yang sama denganku, kenapa pas dia datang ke sini, dia menegaskan bahwa tidak ada apa-apa di antara kita. Rasa kecewanya begitu besar padaku. Lalu, bagaimana dengan perasaanku? Hancur lebur saat itu juga."
Setelah puas meluapkan isi hatinya, Sita berhenti menangis. Dia sudah lelah. Apakah harus mempertahankan perasaannya atau menyimpannya kembali di kotak pandora hatinya agar tidak bisa keluar lagi.
"Aku mau ke pantai Daf. Menikmati angin malam."
"Nanti kamu sakit Ta, anginnya lumayan kenceng."
"Ga apa. Aku sangat ingin memeluk angin malam di pantai."
"Boleh. Tapi pake jaketku ya."
"Ok."
Mereka pun menyudahi makan lalu beranjak. Menuju pantai. Sita ingin meluapkan tangisnya di sana. Disaksikan pasir dan ombak. Sampailah mereka di pantai yang dituju. Dafa segera memakaikan jaketnya, tak lupa dia pun memakai jaket. Mereka menyusuri tepian pantai. Sita memandang kosong air laut yang terlihat hitam pekat dari kejauhan. Dafa pun berdiri di sisi Sita. Dia tahu Sita sangat butuh seseorang di sisinya sekarang.
Tiba-tiba, Dafa kaget. Sita memeluknya dari belakang dan menangis di punggungnya. Membuat jaket yang Dafa pakai sedikit basah.
"Biarkan seperti ini sebentar ya Daf." Sita tak mau menangis di hadapan Dafa. Akhirnya, dia memilih posisi seperti itu. Dafa menggenggam kedua tangan Sita yang sudah bergetar, berusaha menenangkannya. Zidan memang shit, pikir Dafa. Kenapa? Kenapa Zidan bisa dengan mudah mengaduk-aduk perasaan Sita.
Bahu Sita turun naik. Dia mencoba sekuat tenaga tidak menangis.
"Menangislah. Jangan ditahan, nanti tambah sesek. Ada aku di sini." Kata Dafa.
Sita semakin mengeratkan pelukannya. Dafa pun semakin erat menggenggam kedua tangan Sita.
Dafa teringat ucapan Gege. Apakah dia memiliki perasaan khusus pada Sita? Dafa jelas-jelas hanya menganggap Sita sahabat dekatnya. Tapi setiap melihat Sita menangis, Dafa selalu yang menjadi garda terdepan memasang badan untuk menghiburnya.