Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #2

Buronan Lintas Waktu

Proses lompatan waktu kembali ke masa depan terasa jauh lebih menyakitkan daripada saat pergi. Perjalanan ke masa lalu terasa seperti sebuah penghapusan. Perjalanan kembali ini terasa seperti sebuah kelahiran paksa. Dirgantara merasakan setiap partikel tubuhnya ditarik melintasi koridor waktu sepanjang tujuh ratus tahun, setiap selnya menjerit dalam protes. Gema dari aroma tanah basah Pasundan, suara gamelan Trowulan, dan tatapan mata terakhir Ratna Laras direnggut paksa dari kesadarannya, digantikan oleh kehampaan yang dingin dan steril.

Ia tidak kembali ke ruang persiapan. Dengan desis pelepasan energi, ia terwujud di tengah sebuah koridor putih tanpa ujung di markas Lembaga Penjaga Garis Waktu. Lantainya yang mengilap memantulkan cahaya lampu LED yang dingin, dan udara yang masuk ke paru-parunya terasa kering dan artifisial, berbau ozon dan desinfektan. Keheningan di sini bukanlah keheningan alam, melainkan keheningan mesin, sebuah dengung konstan dari ribuan server yang bekerja tanpa henti.

Untuk beberapa saat, Dirgantara hanya berdiri di sana, terhuyung-huyung. Di tangannya, ia masih menggenggam Kujang Pusaka Naga milik Ratna. Benda itu terasa aneh di sini, sebuah artefak kuno yang penuh jiwa di tengah dunia yang terbuat dari logam dan cahaya. Rasa kehilangan yang tajam dan tak terduga menghantamnya, begitu kuat hingga ia nyaris berlutut.

Namun, disiplin seorang agen akhirnya mengambil alih. Ia harus melihat hasilnya. Dengan langkah yang terasa berat, ia berjalan menyusuri koridor menuju Ruang Arsip Utama.

Saat Dirgantara melangkah melewati ambang pintu ruang arsip yang megah, cahaya koridor di belakangnya mendadak berganti. Putih bersih berubah menjadi merah darurat yang berkedip-kedip, menorehkan bayangan tajam di dinding marmer.

Dari pengeras suara tersembunyi, suara sintetis dingin tanpa emosi bergema, seperti vonis yang jatuh dari langit:

“PERINGATAN. AGEN DIRGANTARA PRAMUDYA. STATUS: PEMBELOT. MISI UTAMA TELAH DILANGGAR. PROTOKOL PENANGKAPAN DIAKTIFKAN.”

BZZZZT!

Pintu baja ruang arsip menutup rapat dengan bunyi magnetis yang berat. Terperangkap.

Belum sempat ia mencerna kata pengkhianatan itu, ledakan keras mengguncang pintu di seberang. Logam beterbangan, debu memenuhi udara. Dari balik kobaran percikan api, satu regu penuh berisi delapan agen berseragam hitam legam menyerbu masuk. Mereka bergerak cepat, formasi tempur sempurna, laksana mesin tanpa jiwa. Helm legam mereka menutup rapat wajah. Wajah yang dulu adalah kawan seperjuangannya.

Insting dan implan Dirgantara mengambil alih. Saat regu itu melepaskan tembakan serentak, tubuhnya sudah bergerak. Ia tidak menghindar, melainkan menerjang maju, menggunakan meja konsol sebagai perisai. Tembakan-tembakan energi biru menghantam meja itu, menciptakan percikan api. Ia menendang meja itu ke arah mereka, menciptakan kekacauan sesaat, dan melompat ke sisi lain.

Di udara, sebuah ingatan melintas di benaknya, begitu jelas seolah baru terjadi kemarin: Ratna Laras di halaman pesanggrahan, membentaknya, “Kuda-kudamu terlalu tinggi! Kau akan tumbang ditiup angin!”

Lihat selengkapnya