Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #3

Mutiara dari Timur

Lompatan waktu kedua terasa lebih berat dari yang pertama. Kali ini, tidak ada ketidaktahuan yang naif, hanya kesadaran pahit akan risiko yang ia ambil. Saat realitas kembali terbentuk di sekelilingnya, tubuh Dirgantara terasa sakit dan jiwanya lelah. Ia tidak lagi mendarat di keheningan hutan purba, melainkan di tengah hiruk pikuk peradaban yang memusingkan.

Ia menyeret dirinya ke sebuah gang sempit yang sepi, di antara dua gudang kayu yang reyot, dan akhirnya membiarkan dirinya jatuh bersandar di dinding. Ia perlu waktu, untuk bernapas, untuk memproses pengkhianatan yang baru saja ia alami, dan waktu untuk membiarkan gempa emosional dari perpisahannya dengan Ratna mereda menjadi getaran yang bisa ia tahan.

Namun, dunia baru ini tidak memberinya kemewahan itu. Udaranya lembab dan berat, penuh dengan campuran bau yang belum pernah ia hirup sebelumnya: aroma tajam dari cengkeh dan lada yang dijemur, bau asin dari laut dan garam yang mengering, serta bau amis dari ikan yang dibongkar di pelabuhan. Ini adalah parfum dari sebuah pusat perdagangan dunia.

Dari ujung gang, ia bisa mendengar simfoni suara yang kacau. Bukan lagi bahasa Sunda Kuno yang iramanya sudah ia kenal. Di pelabuhan, ia mendengar beragam bahasa yang saling tumpang tindih dalam satu gelombang kebisingan: Melayu Kuno yang menjadi bahasa utama, pekikan para pedagang Tamil yang berdebat, sapaan dalam bahasa Arab yang dalam dan bergema, serta berbagai dialek Tionghoa dari para pelaut dan saudagar. Implan bahasanya bekerja keras, terasa seperti demam ringan di belakang kepalanya saat ia memilah, mengurai, dan menyerap struktur linguistik yang kompleks itu.

Setelah beberapa saat memulihkan kekuatannya, Dirgantara memaksa dirinya untuk bangkit. Ia adalah seorang buronan. Berdiam diri di satu tempat adalah cara tercepat untuk mati. Ia menyembunyikan Kujang Pusaka Naga milik Ratna di balik lipatan jubahnya dan melangkah keluar dari gang, melebur ke dalam keramaian.

Dunia yang menyambutnya sangat berbeda dari Jawa abad ke-14 yang agraris dan feodal. Palembang tahun 1025 adalah sebuah kota yang cair, dinamis, dan kosmopolitan. Di jalanan yang terbuat dari papan-papan kayu di atas tanah berawa, ia melihat orang-orang dari berbagai bangsa. Pelaut-pelaut berkulit gelap dari Afrika, pendeta-pendeta Buddha dari daratan Tiongkok, saudagar-saudagar Arab berjubah putih, dan para prajurit Sriwijaya berkulit sawo matang dengan ikat kepala yang khas. Ini adalah Mutiara dari Timur, sebuah titik temu di mana sutra dari utara ditukar dengan rempah dari selatan, dan emas dari barat bertemu dengan permata dari timur.

Dirgantara menghabiskan sisa hari itu dengan berjalan tanpa tujuan yang jelas, namun dengan niat yang sangat fokus: mengamati dan belajar. Ia adalah seorang agen yang sedang melakukan pengintaian di wilayah baru. Ia memperhatikan bagaimana transaksi terjadi, bukan hanya dengan koin emas dan perak, tetapi juga dengan batangan timah dan ikatan janji. Ia melihat bagaimana para syahbandar memeriksa barang dengan tatapan mata yang terlatih, dan bagaimana para pemilik kapal bernegosiasi dengan gestur-gestur halus yang penuh makna.

Ia dengan cepat menyadari sebuah kebenaran fundamental. Di Trowulan, kekuasaan diukur dari luasnya tanah dan jumlah prajurit. Di sini, di jantung Sriwijaya, kekuasaan diukur dari jumlah kapal dan keakuratan informasi. Ia harus cepat beradaptasi di dunia yang digerakkan oleh uang dan informasi ini jika ia ingin bertahan hidup, apalagi untuk menjalankan misinya.

Lihat selengkapnya