Kantor dagang keluarga Khalid bukanlah sebuah bangunan yang mencolok dari luar. Tidak ada pilar-pilar raksasa atau ukiran emas yang sombong. Ia hanyalah sebuah bangunan dua lantai yang kokoh terbuat dari kayu ulin, berdiri dengan tenang di tepi Sungai Musi, sedikit menjauh dari hiruk pikuk dermaga utama. Namun, saat Dirgantara melangkah melewati gerbangnya, ia langsung mengerti di mana letak kekuatan sejati tempat ini.
Di halaman dalam yang luas, puluhan orang dari berbagai bangsa bergerak dengan kesibukan yang teratur. Para kuli angkut membongkar peti-peti berisi sutra Tiongkok dan karung-karung beraroma lada. Para juru tulis duduk bersila di atas balai-balai panjang, pena kalam mereka menari di atas daun lontar dan perkamen, mencatat setiap barang yang masuk dan keluar. Di sudut lain, seorang kapten kapal berwajah kasar dari Tamil sedang berdebat sengit dengan seorang saudagar Parsi mengenai harga kapulaga. Udara dipenuhi oleh dengungan berbagai bahasa dan aroma dari seluruh penjuru dunia. Ini bukanlah sekadar kantor dagang; ini adalah sebuah bursa dunia dalam miniatur.
Dirgantara, dalam jubah saudagar nilanya yang baru, berjalan dengan tenang melewati kekacauan itu. Ia tidak tampak terintimidasi. Sebaliknya, ia mengamati semuanya dengan tatapan seorang ahli, pikirannya sebagai seorang sejarawan dan agen memetakan arus barang dan manusia. Ia mendekati seorang penjaga di pintu utama gedung dan dengan sopan, dalam bahasa Melayu Kuno yang fasih, menyampaikan tujuannya.
“Salam, Kisanak. Namaku Dirgantara. Aku seorang saudagar dari negeri seberang angin, membawa sebuah permata langka yang mungkin akan menarik minat Tuan Khalid.”
Penjaga itu menatapnya dari atas ke bawah, menilai pakaiannya, posturnya, dan ketenangan di matanya. Setelah beberapa saat, ia mengangguk.
“Tunggu di sini.”
Dirgantara pun dibuat menunggu. Ia tahu ini adalah bagian dari permainan, sebuah cara halus untuk menunjukkan siapa yang memegang kuasa. Ia tidak keberatan. Ia menggunakan waktu itu untuk terus mengamati. Ia melihat kurir-kurir berwajah tegang datang dan pergi, menyerahkan gulungan-gulungan kecil yang disegel kepada seorang juru tulis khusus sebelum menghilang kembali ke dalam keramaian kota. Ia melihat bagaimana setiap informasi, cuaca di Selat Malaka, pemberontakan kecil di Kamboja, harga baru untuk dupa di Yaman dicatat, disalin, dan disimpan dalam arsip yang rapi. Ini adalah sebuah mesin intelijen yang menyamar sebagai sebuah bisnis.
Setelah hampir satu jam, seorang pelayan akhirnya menghampirinya. “Nona Zahira akan menemuimu.”
Dirgantara sedikit terkejut. Nona? Bukan Tuan Khalid? Ia mengikuti pelayan itu menaiki tangga kayu yang berderit, menuju sebuah ruangan di lantai dua yang menghadap langsung ke sungai.
Ruangan itu, tidak seperti halaman di bawah, terasa tenang dan sejuk. Jendelanya yang besar dan terbuka membiarkan angin sungai masuk, menggerakkan tirai-tirai tipis. Dindingnya dipenuhi oleh rak-rak berisi gulungan lontar dan perkamen. Di atas sebuah meja kayu besar yang dipoles hingga mengilap, terhampar sebuah peta laut yang sangat detail. Di belakang meja itu, duduk seorang perempuan muda.
Di kantor dagang mereka yang sibuk, ia tidak bertemu sang patriark, melainkan putrinya, Zahira binti Khalid.
Ia tampak berusia tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Ia mengenakan jubah sederhana namun terbuat dari katun Mesir terbaik, rambutnya yang hitam legam disanggul rapi dan ditutupi oleh kerudung tipis yang disampirkan di bahunya. Kulitnya berwarna langsat, dan matanya … matanya adalah hal pertama yang menarik perhatian Dirgantara. Mata itu berwarna gelap, besar, dan memancarkan kecerdasan yang tajam. Saat ia menatap Dirgantara, rasanya tidak seperti sedang dilihat, melainkan seperti sedang dipindai dan dikupas lapis demi lapis. Zahira, yang mengelola operasional harian, menatapnya dengan mata cerdas yang penuh selidik.