Keheningan yang mengikuti tantangan balik dari Dirgantara terasa berat dan penuh perhitungan. Di dalam ruangan yang menghadap ke Sungai Musi itu, dua pikiran tajam saling beradu, menimbang, dan mengukur. Zahira menatap Dirgantara, matanya yang cerdas tidak lagi hanya menunjukkan kecurigaan, tetapi juga secercah rasa tertarik yang enggan. Pria di hadapannya ini bukanlah mata-mata biasa. Ia tidak gentar saat terpojok; sebaliknya, ia justru membalikkan papan catur.
Selama beberapa saat yang terasa seperti satu jam, Zahira hanya diam. Ia berjalan kembali ke mejanya, jemarinya yang lentik mengetuk-ngetuk permukaan peta laut yang terhampar di sana. Ia tidak sedang memikirkan rute dagang. Ia sedang memetakan kemungkinan-kemungkinan baru yang dibawa oleh pria misterius ini.
“Keseimbangan,” ulang Zahira pelan, seolah sedang mencicipi kata itu. “Sebuah kata yang besar untuk seorang pedagang permata.” Ia mengangkat kepalanya, sebuah keputusan tampak di matanya. “Kau berbicara tentang awan badai. Tapi kau belum melihat lautan yang sesungguhnya.”
Ia memberi isyarat agar Dirgantara mengikutinya. “Mari, Tuan Pedagang. Akan kutunjukkan padamu hasil bumi sesungguhnya yang diperdagangkan di kota ini.”
Mereka menuruni tangga kayu, kembali ke halaman dalam yang sibuk. Namun kali ini, Zahira tidak membawanya ke arah gudang-gudang penyimpanan atau dermaga utama. Ia justru memimpin Dirgantara melewati sebuah pintu kecil yang tersembunyi di balik tumpukan karung goni, menuju sebuah bagian pelabuhan yang lebih tua dan lebih tersembunyi dari pandangan umum.
Dunia yang mereka masuki terasa berbeda. Di sini tidak ada teriakan para pedagang atau derit roda pedati. Yang ada hanyalah bisik-bisik. Di lorong-lorong sempit di antara gudang-gudang rempah, mereka melihat orang-orang berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Seorang pelaut Melayu berbisik pada seorang saudagar Gujarat. Seorang biksu dari Kamboja bertukar gulungan lontar kecil dengan seorang pria berwajah Parsi. Ini adalah pasar yang berbeda, pasar di mana mata uangnya adalah rahasia.
Zahira berhenti di sebuah balkon kayu yang menjorok ke sebuah kanal kecil yang lebih sepi. Dari sana, mereka bisa melihat kapal-kapal kecil, perahu lesung dan sampan datang dan pergi tanpa suara, penumpangnya adalah sosok-sosok berkerudung yang wajahnya tak terlihat.
“Lihatlah ke sana, Tuan Dirgantara,” kata Zahira, suaranya kini tenang namun sarat akan kekuatan. “Kau melihat kapal dan barang. Aku melihat arus manusia. Setiap perahu yang datang dan pergi itu membawa sesuatu yang lebih berharga daripada sutra atau emas. Mereka membawa kabar.”
Ia menunjuk ke arah seorang pria kurus yang sedang menyerahkan sebuah kantung kecil pada salah satu anak buah Zahira di bawah. “Pria itu adalah seorang nelayan mutiara dari pesisir Sri Lanka. Kantung itu tidak berisi mutiara. Isinya adalah catatan tentang pergerakan kapal-kapal perang Chola di pelabuhan Trincomalee.”