Kepercayaan, begitu berhasil ditempa, adalah sebuah fondasi yang kokoh. Di hari-hari berikutnya, Dirgantara tidak lagi merasa seperti seorang penyusup di dalam kantor dagang Khalid; ia telah menjadi bagian dari mesin itu sendiri. Zahira memberinya akses terbatas ke beberapa laporan dari jaringannya, sebuah ujian sekaligus sebuah undangan. Ia menghabiskan waktunya di ruangan peta di lantai dua, mempelajari arus perdagangan, memetakan pergerakan komoditas, dan sesekali memberikan masukan yang membuat Zahira menatapnya dengan campuran kekaguman dan kecurigaan yang tak pernah sepenuhnya padam.
Mereka bekerja dalam keheningan yang nyaman, dua pikiran tajam yang bergerak dalam harmoni yang aneh. Dirgantara akan menunjukkan sebuah anomali penurunan tiba-tiba harga cengkeh di pelabuhan Malabar, dan Zahira, tanpa perlu banyak penjelasan, akan langsung menghubungkannya dengan laporan tentang wabah penyakit di Ternate. Mereka adalah dua sisi dari koin yang sama: Dirgantara dengan wawasan makronya yang aneh dan melampaui waktu, dan Zahira dengan jaringan mikronya yang presisi dan tersebar di seluruh samudra. Aliansi mereka terasa alami, seolah mereka telah menjadi mitra dagang selama bertahun-tahun.
Namun, di balik semua itu, Dirgantara merasakan waktu terus berjalan, mendekati tanggal yang terukir merah dalam data sejarahnya: tahun 1025, tahun serangan Kerajaan Chola. Setiap pagi ia bangun dengan firasat buruk yang sama, sebuah bayangan gelap di cakrawala pikirannya yang tidak bisa ia abaikan. Ketenangan di Sriwijaya saat ini terasa seperti keheningan yang menipu, setenang permukaan sungai sesaat sebelum air bah datang.
Badai itu akhirnya tiba pada suatu sore yang panas dan lembab.
Seorang kapten kapal dari pesisir utara Sumatra menerobos masuk ke halaman kantor dagang Khalid, langkahnya panik dan wajahnya pucat pasi. Ia tidak menunggu untuk diumumkan; ia langsung berlari menaiki tangga menuju ruangan Zahira, mengabaikan teriakan para penjaga.
“Nona Zahira! Nona Zahira!” serunya, napasnya tersengal-sengal saat ia membungkuk di ambang pintu, meneteskan keringat di lantai kayu yang mengilap.
Zahira, yang sedang berdiskusi dengan Dirgantara mengenai rute pengiriman kapur barus, langsung berdiri. Wajahnya yang tenang kini menegang.
“Ada apa, Kapten Bahar?”
“Armada Chola, Nona,” kata kapten itu, suaranya bergetar. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Di lepas pantai Nagapattinam. Mereka berkumpul. Jumlahnya … demi para dewa, jumlahnya seperti kawanan belalang yang menutupi lautan. Ratusan kapal. Bukan kapal dagang, Nona. Kapal-kapal perang besar, dengan menara-menara gading dan panji-panji perang yang berkibar.”
Dirgantara merasakan dingin menjalari tulang punggungnya. Inilah dia. Peringatan pertama.
Zahira tidak panik. Matanya yang cerdas langsung berkilat, pikirannya bekerja dengan kecepatan seorang ahli strategi. Ia menenangkan Kapten Bahar, memberinya air minum, dan dengan serangkaian pertanyaan yang tenang dan metodis, ia menggali setiap detail dari kesaksian kapten itu: jenis kapal, perkiraan jumlah, arah angin, dan moral para awak kapal Chola yang ia lihat di pelabuhan.