Kembali ke kantor dagang Khalid, kemarahan Zahira akhirnya meledak. Ia berjalan mondar-mandir di ruang petanya, jubahnya yang anggun berkibar di setiap putaran tajam. Wajahnya yang biasanya tenang kini memerah, dan matanya yang cerdas berkilat seperti api.
“Buta! Mereka semua buta!” desisnya, suaranya bergetar karena amarah yang tertahan. “Para laksamana tua itu, mereka lebih sibuk memoles medali kemenangan dari perang dua puluh tahun yang lalu daripada melihat badai yang sudah ada di depan mata. Mereka akan membawa seluruh kota ini tenggelam bersama keangkuhan mereka!”
Dirgantara berdiri diam di dekat jendela, memberinya ruang untuk meluapkan frustrasinya. Ia melihat bukan lagi seorang saudagar yang dingin dan penuh perhitungan, melainkan seorang pemimpin yang penuh gairah, yang cintanya pada kotanya begitu besar hingga ia rela menanggung sakit hati karena kebodohan para penguasanya.
“Mereka tidak akan mendengarkan kita, Dirgantara,” kata Zahira, akhirnya berhenti dan menatapnya, matanya menunjukkan keputusasaan. “Bagi mereka, kita hanyalah pedagang. Suara kita tidak lebih berharga dari denting koin perak.”
“Mungkin kita berbicara pada orang yang salah,” balas Dirgantara pelan.
Zahira menatapnya, tidak mengerti.
“Para laksamana itu,” lanjut Dirgantara, “kekuatan mereka berasal dari titah raja dan kesetiaan para prajurit. Mereka berpikir dalam kerangka perintah dan kehormatan. Tapi kau bilang sendiri, di kota ini ada kekuatan lain.” Ia menunjuk ke arah pelabuhan yang ramai di luar jendela. “Kekuatan yang tidak peduli pada medali atau pangkat. Kekuatan yang berpikir dalam bahasa yang berbeda: bahasa untung dan rugi.”
Sebuah kesadaran baru mulai menyinari mata Zahira. Amarah di wajahnya perlahan surut, digantikan oleh ekspresi perhitungan yang tajam. Ia berjalan mendekati peta laut raksasa yang tergantung di dinding, jemarinya menelusuri rute-rute dagang yang bercabang seperti jaring laba-laba di seluruh samudra.
“Para prajurit mungkin tuli,” bisiknya, lebih pada dirinya sendiri. “Maka, kita akan membuat para saudagar berteriak di telinga mereka.”
Malam itu, kantor dagang Khalid tidak lagi menerima kurir biasa. Sebaliknya, utusan-utusan pribadi dikirim ke sudut-sudut terkaya dan paling berpengaruh di Palembang. Sebuah undangan rahasia untuk sebuah pertemuan darurat.
Tempat pertemuannya bukanlah di pendopo yang megah, melainkan di sebuah gudang besar milik keluarga Khalid di bagian pelabuhan yang lebih tua. Udara di dalamnya pengap, dipenuhi aroma tajam dari karung-karung pala dan lada yang ditumpuk hingga ke langit-langit. Di tengah gudang, di bawah cahaya beberapa obor, berkumpul sekitar dua puluh orang paling berkuasa di Sriwijaya yang namanya tidak tercatat dalam silsilah kerajaan. Ada saudagar Tionghoa tua bernama Liem, yang menguasai perdagangan sutra dan porselen. Ada Kapten Ibrahim, seorang saudagar Arab-Parsi yang armadanya menguasai rute ke Teluk Persia. Ada pula para pemilik kapal Melayu dan Gujarat, orang-orang yang kekayaannya mampu membeli kesetiaan sebuah pasukan kecil.