Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #8

Permainan Catur di Atas Lautan

Persekutuan para saudagar yang digalang oleh Zahira mulai bergerak dalam senyap. Gudang-gudang di sepanjang Sungai Musi yang tadinya hanya berisi rempah dan sutra kini secara diam-diam juga diisi dengan ter, tali-temali, dan cadangan dayung. Kapal-kapal dagang tercepat diberi instruksi baru, rute-rute pelarian dan jalur pasokan rahasia mulai dipetakan. Di bawah permukaan kota yang sibuk, sebuah jaringan logistik perang sedang ditenun oleh tangan-tangan yang lebih terbiasa memegang neraca dagang daripada pedang.

Namun, Dirgantara tahu itu tidak akan cukup. Logistik yang kuat tidak ada artinya tanpa kekuatan militer yang mau memanfaatkannya. Para laksamana tua masih duduk nyaman di atas singgasana keangkuhan mereka, percaya pada kekuatan kapal-kapal besar dan taktik-taktik usang yang telah memberi mereka kemenangan di masa lalu. Dirgantara tahu, dari data sejarahnya, bahwa taktik Chola yang akan datang jauh lebih maju. Melawan mereka secara langsung adalah bunuh diri.

Ia membutuhkan sebuah celah di dalam dinding itu. Sebuah pikiran progresif yang mau mendengarkan. Dan ia sudah tahu siapa orangnya. Laksamana Nala. Komandan muda yang matanya tidak tertutup oleh selaput arogansi saat mereka berada di balai audiensi. Wajahnya menunjukkan perenungan, bukan cemoohan. Dialah satu-satunya harapan mereka di kalangan militer.

Mendekatinya bukanlah perkara mudah. Sebagai seorang komandan armada, Laksamana Nala selalu dikelilingi oleh para perwira dan prajurit. Mendekatinya secara terbuka hanya akan menarik perhatian yang tidak diinginkan dari para laksamana senior. Sekali lagi, Dirgantara harus mengandalkan jaringan milik Zahira.

Melalui seorang pedagang kain yang menjadi pemasok seragam untuk perwira tinggi, sebuah pesan rahasia disampaikan. Bukan sebuah undangan, melainkan sebuah teka-teki.

“Seekor ikan terbang dari negeri seberang angin ingin berbagi cerita tentang cara menavigasi badai yang akan datang. Ia akan menunggu di gudang pala tua di dermaga timur, saat bayangan tiang kapal sejajar dengan matahari terbenam.”

Dirgantara menunggu dengan gelisah di gudang pala yang remang-remang dan beraroma tajam itu. Ia tidak yakin apakah sang laksamana akan datang. Ini adalah sebuah pertaruhan besar pada karakter seorang pria yang nyaris tidak ia kenal.

Tepat saat bayangan tiang kapal layar tertinggi di pelabuhan menyentuh gudang tempatnya menunggu, sesosok tubuh tegap masuk. Laksamana Nala datang sendiri, tanpa pengawal, hanya mengenakan pakaian sederhana, bukan seragam kebesarannya. Wajahnya yang muda dan tegas menatap Dirgantara dengan tajam.

“Kau punya keberanian besar, Tuan Pedagang, memanggil seorang komandan armada Sriwijaya ke tempat seperti ini,” kata Nala, suaranya tenang namun penuh wibawa.

“Situasi yang putus asa membutuhkan keberanian yang lebih besar, Laksamana,” balas Dirgantara. Ia tidak membuang waktu. Ia berbicara sebagai seorang ahli strategi dari negeri asing, sebuah persona yang ia bangun dengan hati-hati. “Di balai audiensi tempo hari, aku melihat sesuatu di matamu. Sesuatu yang berbeda dari yang lain. Aku tidak melihat kesombongan. Aku melihat kekhawatiran.”

Lihat selengkapnya