Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #9

Mimpi di Ujung Senja

Beberapa hari berikutnya adalah sebuah pusaran aktivitas yang sunyi. Dirgantara merasa dirinya terbelah menjadi tiga. Sebagian dari dirinya adalah sang ahli strategi, yang menghabiskan waktu berjam-jam bersama Laksamana Nala di gudang yang remang-remang, menggambar formasi kapal di atas pasir dan menjelaskan konsep perang asimetris. Sebagian lagi adalah sang analis, yang duduk bersama Zahira di ruang petanya, menelusuri laporan-laporan intelijen yang rumit, mencari pola tersembunyi dalam pergerakan kapal-kapal Chola. Dan sebagian kecil dari dirinya, bagian yang paling tersembunyi, adalah sang buronan, yang setiap malamnya terbangun dengan jantung berdebar, mengira mendengar langkah kaki pasukan keamanan Lembaga di luar biliknya.

Ia kelelahan. Bukan lelah fisik, Monitor Biologisnya bisa mengatasi itu dengan melepaskan stimulan dan mengatur siklus tidurnya. Ini adalah kelelahan jiwa. Beban dari tiga konspirasi yang ia jalani secara bersamaan, konspirasi Chola, konspirasi Lembaga, dan konspirasi perasaannya sendiri yang terasa semakin berat.

Suatu sore, saat ia sedang sendirian di kamarnya, ia mengeluarkan Kujang Pusaka Naga dari sarungnya. Benda itu terasa dingin di tangannya. Ia menelusuri ukiran naga di gagangnya, dan sebuah ingatan yang tajam muncul di benaknya: wajah Ratna Laras di bawah cahaya bulan Trowulan, matanya yang tegas melunak saat ia berbicara tentang keseimbangan. Ia teringat pada dunianya yang lebih sederhana, dunia di mana kehormatan adalah hukum tertinggi dan pertarungan dilakukan secara terbuka. Dunia itu terasa begitu jauh sekarang, terpisah bukan hanya oleh jarak waktu, tetapi juga oleh kompleksitas moral. Di sini, di Palembang, ia bertarung dengan tipu muslihat dan informasi, sebuah dunia yang terasa lebih asing daripada pertarungan fisik mana pun. Sebuah rasa rindu yang perih mencengkeram hatinya.

“Kau tampak seperti sedang memikul seluruh beban samudra di pundakmu.”

Dirgantara tersentak. Zahira berdiri di ambang pintu kamarnya yang terbuka, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia tidak tahu sudah berapa lama wanita itu berdiri di sana. Dengan cepat, ia menyarungkan kembali kujang itu.

“Hanya sebuah pusaka dari kampung halaman,” katanya, mencoba terdengar santai.

Zahira tidak bertanya lebih jauh. Ia sepertinya mengerti bahwa benda itu adalah bagian dari dunia pribadi Dirgantara yang tidak boleh ia masuki. “Kau sudah bekerja terlalu keras,” katanya lembut. “Matahari akan segera terbenam. Angin sungai di sore hari konon bisa meniup pergi kegelisahan. Mau menemaniku berjalan-jalan?”

Itu bukanlah sebuah permintaan yang berhubungan dengan strategi atau bisnis. Itu adalah sebuah undangan personal. Dirgantara, yang merindukan momen sederhana tanpa beban konspirasi, mengangguk setuju.

Mereka berjalan berdampingan di dermaga utama yang sibuk saat senja mulai turun. Ini adalah jam paling magis di Palembang. Matahari yang akan terbenam melukis langit dengan warna jingga, emas, dan nila, dan cahayanya memantul di permukaan Sungai Musi yang luas, mengubahnya menjadi hamparan emas cair. Siluet puluhan kapal jung dan dhow yang sedang berlabuh tampak agung dengan layar-layar mereka yang terkembang sebagian. Hiruk pikuk pasar mulai mereda, digantikan oleh suara para pelaut yang menyanyikan lagu-lagu laut dari negeri mereka dan aroma masakan makan malam yang menguar dari dapur-dapur kapal.

Lihat selengkapnya