Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #10

Tawaran Sang Ratu Saudagar

Momen magis di dermaga saat senja itu mengubah segalanya. Kehangatan yang lahir dari percakapan mereka tentang mimpi dan harapan tidak lenyap bersama tenggelamnya matahari. Sebaliknya, ia tetap tinggal, menciptakan sebuah ikatan baru yang tak terucapkan di antara Dirgantara dan Zahira. Hari-hari berikutnya, saat mereka bekerja bersama di ruang peta, suasana tidak lagi hanya dipenuhi oleh ketegangan strategi, tetapi juga oleh percikan-percikan listrik dari tatapan mata yang bertemu sedikit lebih lama dari seharusnya, atau jemari yang tak sengaja bersentuhan saat menunjuk sebuah titik di atas perkamen.

Dirgantara merasa dirinya terbelah. Sebagian dirinya menikmati kehangatan ini, merasakan secercah kebahagiaan yang telah lama ia lupakan. Ia mengagumi kecerdasan Zahira, terpesona oleh gairahnya, dan terbuai oleh mimpinya tentang sebuah dunia yang disatukan oleh kepercayaan. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki tempat, sebuah jangkar di tengah lautan waktu yang ganas.

Namun, sebagian lain dari dirinya terus-menerus disiksa oleh rasa bersalah. Setiap kali ia tersenyum pada Zahira, bayangan Ratna Laras melintas di benaknya. Wajahnya yang tegas namun penuh kepedihan saat perpisahan mereka. Setiap kali ia merasakan secercah harapan untuk masa depan di sini, ia teringat pada Kujang Naga yang tersembunyi di biliknya, sebuah pusaka yang terasa semakin berat, seolah dipenuhi oleh air mata dari cinta yang ia tinggalkan tiga ratus tahun di masa depan. Ia hidup dalam dua garis waktu sekaligus, dan hatinya terkoyak di antara keduanya.

Zahira, dengan kepekaannya yang luar biasa, sepertinya merasakan pergulatan batin Dirgantara, meskipun ia tidak tahu penyebabnya. Ia melihat lelaki itu sering kali termenung, tatapannya menerawang jauh seolah sedang melihat dunia lain. Ia mengira itu adalah beban dari ancaman Chola, atau kerinduan pada ‘kampung halamannya’ yang misterius. Ia tidak tahu bahwa lelaki yang mulai ia cintai itu sedang dihantui oleh gema dari zaman yang berbeda.

Puncak dari semua perasaan yang terpendam ini terjadi pada suatu sore, seminggu setelah pertemuan mereka di dermaga. Laporan-laporan intelijen dari jaringan Khalid menunjukkan bahwa armada Chola telah mulai bergerak, berlayar perlahan menyusuri pesisir Koromandel. Badai itu tidak lagi hanya sebuah prediksi; ia telah menjadi sebuah kepastian yang sedang bergerak mendekat.

Zahira mengumpulkan Dirgantara dan Laksamana Nala di ruang peta. Wajahnya serius, namun matanya berkilat dengan tekad yang membara. Mereka bertiga telah menjadi sebuah dewan perang tak resmi, sebuah trinitas yang terdiri dari informasi, strategi, dan kekuatan militer.

“Waktu kita hampir habis,” kata Zahira. “Kita tidak bisa lagi hanya bersiap. Kita harus mulai bergerak.” Ia memaparkan rencananya untuk menggunakan pengaruh para saudagar sekutunya, bukan hanya untuk mengamankan logistik, tetapi juga untuk mulai menyebar disinformasi di pelabuhan-pelabuhan netral, mencoba memperlambat laju armada Chola dengan rumor palsu tentang badai atau wabah penyakit.

Laksamana Nala melaporkan kemajuan dari latihan rahasianya. “Pasukanku sudah menguasai manuver malam hari. Mereka siap menjadi hantu di lautan.”

Setelah semua strategi dibahas, Nala pamit undur diri untuk kembali ke pasukannya. Kini, hanya tinggal Dirgantara dan Zahira di ruangan itu. Keheningan yang menyelimuti mereka tidak lagi canggung, melainkan terasa berat oleh hal-hal yang belum terucapkan.

Zahira berjalan ke arah jendela besar, menatap ke arah pelabuhan yang sibuk. “Kita adalah tim yang hebat, bukan?” katanya pelan. “Catatanku, strategimu, keberanian Laksamana Nala. Bersama, kita mungkin benar-benar bisa melakukan hal yang mustahil.”

Lihat selengkapnya