Keheningan yang mengikuti penolakan Dirgantara terasa lebih dingin daripada angin malam di dermaga. Di hari-hari berikutnya, aliansi antara Dirgantara dan Zahira berubah. Permukaan profesionalisme mereka tetap terjaga. Mereka masih bertemu setiap hari di ruang peta, berbagi data, dan merancang strategi. Namun kehangatan dan keintiman yang baru saja mekar telah membeku, digantikan oleh jarak yang sopan namun terasa jelas. Pertemuan mereka kini terasa seperti transaksi bisnis, setiap kalimat diukur, setiap tatapan terkendali.
Suatu pagi, saat mereka sedang memeriksa laporan tentang pergerakan harga gading di pesisir Afrika, Zahira menunjukkan sebuah ketidaksesuaian data tanpa menatapnya. “Laporan dari pos kita di Malindi tidak cocok dengan catatan barang dagangan dari kapal ‘Naga Samudra’. Ada selisih dua puluh peti.” Suaranya datar, efisien.
Dirgantara mencondongkan tubuhnya di atas peta, pikirannya langsung bekerja. “Mungkin ada badai kecil di dekat Madagaskar dua minggu lalu yang memperlambat mereka, atau …” Ia berhenti, sadar bahwa tangannya nyaris menyentuh tangan Zahira di atas peta. Ia menarik tangannya kembali dengan canggung. “Atau mungkin ada bajak laut yang sedang berkeliaran di selat itu.”
“Aku akan mengirim pesan pada orang-orangku untuk memastikannya,” jawab Zahira, menarik petanya sedikit. Keheningan yang canggung menyelimuti mereka sejenak. Kehangatan dari senja di dermaga terasa seperti kenangan dari kehidupan lain.
Rasa bersalah menjadi cambuk bagi Dirgantara. Ia telah menyakiti satu-satunya orang di zaman ini yang telah menawarinya sebuah tempat untuk berlabuh. Karena tidak mampu memperbaiki keretakan emosional di antara mereka, ia melemparkan seluruh energinya ke satu-satunya hal yang bisa ia kendalikan: persiapan perang. Ia mengirim pesan kepada Laksamana Nala. Malam itu, latihan rahasia mereka akan dimulai.
Tempat yang dipilih Nala adalah sebuah anak sungai yang terpencil, beberapa jam mendayung dari keramaian Palembang. Mulut sungainya tersembunyi di balik rimbunnya hutan bakau, menjadikannya pangkalan rahasia yang sempurna. Saat Dirgantara tiba dengan perahu kecil yang dikirim untuknya, ia melihat tiga kapal peronda, kapal-kapal ramping dan cepat yang dijuluki ‘Lidah Ular’ oleh para pelaut sudah menunggu di atas air yang hitam dan tenang. Di atas geladak, sekitar tiga puluh orang awak kapal pilihan Nala bergerak dalam keheningan yang disiplin.
Laksamana Nala menyambutnya di dermaga darurat. “Mereka semua ada di sini,” katanya pelan.
Dirgantara mengamati para prajurit itu. Mereka masih sangat muda, sebagian besar mungkin belum genap dua puluh tahun. Tidak seperti para prajurit senior di istana yang perutnya mulai buncit, tubuh mereka liat dan keras karena pekerjaan sehari-hari. Mata mereka berkilat dengan campuran rasa hormat pada Nala dan rasa ingin tahu yang besar pada Dirgantara, sang saudagar asing yang misterius.
“Mengapa mereka?” tanya Dirgantara.
“Karena mereka belum diracuni oleh kemenangan-kemenangan lama,” jawab Nala. “Mereka tidak punya medali untuk dipoles atau cerita perang usang untuk dikenang. Pikiran mereka masih terbuka pada hal-hal baru. Dan yang terpenting,” ia berhenti sejenak, “mereka semua berutang nyawa atau keluarga padaku. Kesetiaan mereka tidak akan goyah.”
Itulah kepemimpinan sejati, pikir Dirgantara. Bukan didasari oleh pangkat, melainkan oleh ikatan personal.