Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #12

Sumpah di Atas Garam dan Angin

Kembali ke kantor dagang Khalid, Dirgantara disambut oleh keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan canggung yang lahir dari hati yang terluka, melainkan keheningan yang penuh dengan kesibukan dan konsentrasi. Di ruang peta, Zahira tidak lagi menunggunya. Ia sudah tenggelam dalam pekerjaannya, dikelilingi oleh tumpukan gulungan perkamen dan beberapa kapten kapal kepercayaannya. Jarak di antara mereka tetap ada, sebuah jurang profesional yang sopan, namun kini Dirgantara melihatnya dengan cara yang baru. Itu bukanlah jarak karena rasa sakit hati, melainkan fokus seorang pemimpin yang telah mengesampingkan perasaan pribadinya demi misi yang lebih besar.

“Latihanmu berhasil?” tanya Zahira tanpa mengangkat kepalanya dari sebuah peta pesisir Sumatra yang sedang ia pelajari.

“Ujung tombak kita sudah tajam,” jawab Dirgantara, menghargai pendekatan yang langsung ke intinya itu. “Tapi ujung tombak tidak ada gunanya tanpa mata yang bisa melihat musuh dari kejauhan.”

“Mata itu sedang kita siapkan,” sahut Zahira. Ia akhirnya mengangkat kepalanya, dan di matanya, Dirgantara melihat kilat tekad yang sama seperti yang ia lihat pada Laksamana Nala. “Para laksamana di istana mungkin menguasai armada. Para saudagar menguasai pelabuhan. Tapi lautan itu sendiri … selat-selat ini … mereka memiliki penguasanya sendiri.”

Ia memberi isyarat pada para kaptennya untuk pergi. Setelah mereka hanya berdua di ruangan itu, Zahira membentangkan sebuah peta yang berbeda. Bukan peta rute dagang yang dipenuhi garis-garis keuntungan, melainkan peta yang dipenuhi simbol-simbol suku dan catatan-catatan tentang arus laut yang hanya diketahui oleh segelintir orang.

“Armada Chola yang besar tidak bisa bersembunyi di lautan terbuka,” jelas Zahira. “Mereka akan membutuhkan pemandu lokal untuk menavigasi perairan dangkal dan selat-selat sempit. Mereka akan mencoba merekrut atau memaksa para Orang Laut.”

Dirgantara mengangguk. Orang Laut. Ia pernah membaca tentang mereka dalam arsip sejarah. Suku-suku nomaden yang menghabiskan seluruh hidup mereka di atas perahu, yang mengenal setiap batu karang, setiap arus tersembunyi, setiap teluk rahasia dari ujung Sumatra hingga ke pesisir Kalimantan. Mereka adalah hantu lautan yang sesungguhnya, yang kesetiaannya tidak terikat pada raja atau kerajaan, melainkan pada janji dan tradisi.

“Jika Chola berhasil mendapatkan kesetiaan mereka,” lanjut Zahira, “maka mata kita akan dibutakan. Armada Nala akan disergap bahkan sebelum sempat melihat musuh. Kita harus sampai kepada mereka lebih dulu.”

“Bagaimana?” tanya Dirgantara. “Mereka tidak percaya pada orang luar. Kesetiaan mereka tidak bisa dibeli dengan emas.”

Lihat selengkapnya