Persekutuan yang terjalin dengan para Orang Laut langsung membuahkan hasil. Dalam hari-hari berikutnya, sebuah aliran informasi yang stabil mulai mengalir masuk ke kantor dagang Khalid. Laporan-laporan itu datang dalam bentuk yang tak lazim: seorang nelayan yang singgah untuk menjual ikan akan menyelipkan sehelai daun lontar tergulung ke tangan salah satu kuli angkut Zahira; seorang pedagang teripang akan menggunakan pola susunan kerangnya di atas meja untuk menyampaikan pesan tentang jumlah kapal yang ia lihat. Itu adalah sebuah bahasa rahasia, sebuah jaringan mata dan telinga yang kini tersebar di sepanjang Selat Malaka.
Di ruang peta, Dirgantara dan Zahira bekerja tanpa lelah, menempelkan setiap laporan baru ke atas peta mereka yang luas, menciptakan gambaran intelijen yang paling komprehensif yang pernah ada di Sriwijaya. Ada secercah optimisme di udara. Mereka merasa, untuk pertama kalinya, mereka berada satu langkah di depan musuh. Laksamana Nala juga mengirim kabar bahwa latihan rahasia pasukannya berjalan lancar. Mereka seperti sedang membangun sebuah benteng pertahanan yang tak terlihat, lapis demi lapis.
Namun, Dirgantara tahu bahwa musuh yang sedang ia hadapi bukanlah musuh biasa. Agen Pembelot dari Lembaga, mantan rekannya, adalah seorang ahli strategi yang brilian. Jika ia tahu jalur konvensional telah diawasi, ia tidak akan melewatinya. Ia akan menciptakan jalur serangan yang baru. Dirgantara merasakan ketenangan ini adalah sebuah keheningan yang salah, sebuah anomali yang membuatnya gelisah.
Kegelisahannya terbukti benar pada suatu malam yang seharusnya tenang.
Saat itu, Dirgantara sedang berada di biliknya, mencoba untuk beristirahat. Implannya mendeteksi getaran frekuensi rendah yang tidak wajar, diikuti oleh teriakan-teriakan panik dari arah pelabuhan. Ia melompat dari dipannya dan berlari ke balkon. Apa yang ia lihat membuat darahnya serasa membeku.
Di arah galangan kapal kerajaan, jantung dari kekuatan maritim Sriwijaya langit malam yang gelap kini berwarna jingga kemerahan. Asap hitam tebal membumbung tinggi, membawa serta percikan-percikan api yang beterbangan seperti kunang-kunang neraka. Kebakaran. Dan bukan kebakaran biasa. Kobaran apinya terlalu besar, terlalu cepat, terlalu ganas.
Ia bergegas keluar, dan di koridor utama ia bertemu dengan Zahira yang juga berlari, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya obor. Tanpa perlu berkata apa-apa, mereka berlari bersama menuju sumber kekacauan.
Galangan kapal yang biasanya merupakan simbol ketertiban dan kerja keras kini telah berubah menjadi pemandangan neraka. Api melalap sebuah dok besar tempat beberapa kapal perang terbaik Sriwijaya, termasuk dua kapal komando, sedang dalam proses perbaikan. Kayu jati kering yang telah disiram minyak damar selama berbulan-bulan terbakar dengan dahsyat, menciptakan suara gemeretak yang mengerikan seperti tulang-tulang raksasa yang sedang dipatahkan. Para pekerja galangan dan prajurit penjaga berlarian panik, melemparkan ember-ember air yang terasa sia-sia ke dinding api yang menjulang tinggi.
“Ini bukan kecelakaan,” kata Dirgantara pada Zahira di tengah hiruk pikuk, suaranya nyaris tenggelam oleh deru api. “Lihat arah angin. Api ini dimulai dari beberapa titik sekaligus, di bagian yang paling melawan arah angin. Seseorang merencanakannya.”