Fajar yang menyingsing di atas Palembang keesokan harinya membawa serta bau hangus. Asap tipis masih membubung dari kerangka-kerangka kapal di galangan, sebuah luka hitam yang menganga di jantung kekuatan maritim Sriwijaya. Berita tentang sabotase itu telah menyebar ke seluruh penjuru kota, mengubah ketakutan yang tadinya hanya berupa bisikan menjadi sebuah kepanikan yang nyata. Musuh tidak lagi menunggu di seberang lautan; mereka telah berjalan di antara mereka, menyalakan api di rumah mereka sendiri.
Di istana, suasana terasa suram. Para laksamana tua yang beberapa hari lalu tertawa terbahak-bahak, kini duduk dalam keheningan yang penuh aib. Kepercayaan diri mereka yang setinggi menara gading kini telah runtuh menjadi puing-puing arang. Mereka telah gagal, bukan di lautan terbuka dalam pertempuran yang terhormat, melainkan di pelabuhan mereka sendiri karena kesombongan.
Di tengah atmosfer yang kelam inilah, sebuah titah kerajaan yang tak terduga datang. Bukan sebuah panggilan untuk dewan laksamana, bukan pula sebuah perintah untuk para menteri. Utusan raja, dengan pakaian kebesaran lengkap, tiba di kantor dagang Khalid. Titah itu ditujukan untuk tiga orang: Zahira binti Khalid, saudagar permata asing bernama Dirgantara, dan Laksamana Muda Nala. Sang Raja Sri Sangramawijayattungawarman memanggil mereka untuk menghadap.
Perjalanan mereka bertiga menuju balai penghadapan utama terasa menegangkan. Mereka berjalan melewati koridor-koridor istana yang kini terasa sunyi, para penjaga dan abdi dalem menatap mereka dengan campuran rasa ingin tahu dan hormat. Mereka bertiga kini menjadi pusat perhatian, harapan terakhir yang tak terduga dari sebuah kerajaan yang sedang di ambang kehancuran.
Balai penghadapan utama Sriwijaya sangat berbeda dari Balai Manguntur di Majapahit. Jika balai di Trowulan dirancang untuk mengintimidasi dengan kekuatan bata dan pilar-pilar raksasa, maka balai di Palembang ini dirancang untuk memukau dengan kekayaan dan jangkauan globalnya. Lantainya terbuat dari marmer pucat yang didatangkan dari Gujarat. Pilar-pilarnya bukan dari kayu jati biasa, melainkan dibungkus dengan lempengan gading gajah yang diukir halus. Guci-guci porselen raksasa dari Dinasti Song menghiasi setiap sudut, dan permadani-permadani tebal dari Parsi terhampar di sepanjang jalan menuju singgasana. Ini adalah ruang takhta yang dibangun oleh keuntungan perdagangan, bukan oleh penaklukan.
Di atas singgasana yang terbuat dari emas dan kayu cendana, duduklah Raja Sri Sangramawijayattungawarman. Ia adalah seorang lelaki yang usianya telah melewati setengah baya, wajahnya menunjukkan kebijaksanaan seorang pelaut yang telah melihat banyak badai dan ketenangan seorang pemimpin yang terbiasa dengan intrik. Matanya yang tajam menatap ketiga tamunya saat mereka mendekat dan memberikan hormat. Di sisi ruangan, para laksamana senior berdiri dengan kepala tertunduk, kehadiran mereka hanyalah sebagai saksi bisu dari kegagalan mereka sendiri.
“Aku telah memanggil kalian bertiga,” kata sang raja, suaranya tenang namun mengandung kekuatan yang tak terbantahkan, “karena telingaku lelah mendengar auman singa-singa tua yang giginya ternyata sudah tumpul.” Ia melirik sekilas ke arah para laksamananya, sebuah teguran halus yang terasa lebih tajam dari sabetan pedang. “Aku mendengar kabar tentang sabotase di galangan kapal. Dan aku juga mendengar kabar tentang sebuah persekutuan para saudagar yang digalang olehmu, Nona Zahira. Aku mendengar tentang taktik-taktik baru dari Laksamana Nala. Dan aku mendengar semua ini berpusat pada dirimu, Tuan Dirgantara.”
Sang raja menatap lurus ke arah mereka. “Sekarang, aku ingin mendengar kebenarannya. Bukan dari laporan yang disaring, bukan dari bisikan para menteri. Langsung dari mulut kalian. Apa yang sedang kita hadapi, dan apa rencana kalian?”
Ini adalah kesempatan mereka. Panggung kini menjadi milik mereka.