Malam sebelum keberangkatan armada adalah sebuah malam yang aneh, perpaduan antara kesibukan yang tergesa-gesa dan keheningan yang khusyuk. Seluruh pelabuhan Palembang berdengung dengan energi baru. Di bawah titah raja, persekutuan saudagar pimpinan Zahira kini bekerja secara terbuka, kapal-kapal mereka hilir mudik di Sungai Musi, memuat pasokan beras, air bersih, obat-obatan, dan ribuan anak panah ke kapal-kapal perang Laksamana Nala. Tidak ada lagi faksi, tidak ada lagi perdebatan. Yang ada hanyalah satu tujuan: mempersiapkan armada untuk perang habis-habisan.
Di atas kapal komando Skuadron Bayangan Laut, Laksamana Nala tampak seperti terlahir kembali. Beban frustrasi dan keraguan telah terangkat dari pundaknya, digantikan oleh aura otoritas dan kepercayaan diri. Ia meneriakkan perintah, mengawasi pemuatan logistik, dan memberikan pengarahan terakhir kepada para komandan kapalnya dengan semangat yang menular. Para prajurit muda yang menjadi anak buahnya menatapnya dengan pemujaan. Mereka akan mengikutinya menyeberangi lautan api jika ia memintanya.
Dirgantara menghabiskan sebagian besar waktunya di bilik peta di atas kapal komando itu. Di hadapannya, terbentang bukan lagi peta rute dagang, melainkan peta-peta militer paling detail dari Selat Malaka. Ia tidak lagi menyembunyikan kemampuannya. Di hadapan Nala dan para perwira tepercaya, ia berbicara tentang fase bulan, memprediksi kekuatan pasang surut dengan akurasi per jam, dan menandai teluk-teluk tersembunyi serta jalur-jalur dangkal yang tidak tercatat di peta mana pun. Pengetahuannya begitu dalam dan presisi hingga Nala dan para perwiranya hanya bisa menatapnya dengan campuran rasa kagum dan sedikit ketakutan. Mereka berhenti melihatnya sebagai saudagar, dan mulai melihatnya sebagai seorang ahli strategi yang diberkati para dewa.
Saat malam semakin larut dan persiapan akhir hampir selesai, Dirgantara meminta izin untuk kembali ke kantor dagang Khalid sejenak. Ada satu urusan terakhir yang harus ia selesaikan. Satu perpisahan yang harus ia ucapkan.
Ia menemukan Zahira di ruang peta pribadinya, tempat di mana aliansi mereka pertama kali diuji. Wanita itu tampak lelah, lingkaran hitam samar terlihat di bawah matanya, namun ia tetap bekerja, mengoordinasikan pergerakan kapal-kapal pasokan terakhir melalui kurir-kurirnya. Saat melihat Dirgantara masuk, ia menghentikan pekerjaannya. Keheningan yang lembut dan sedikit canggung menyelimuti mereka.
“Semua kapal pasokan akan berangkat satu jam setelah armadamu, mengikuti rute yang berbeda,” kata Zahira, suaranya terdengar profesional, namun Dirgantara bisa menangkap getaran emosi di baliknya. “Mereka akan menunggumu di titik pertemuan yang telah kita sepakati.”
“Kau telah melakukan pekerjaan yang luar biasa, Zahira,” kata Dirgantara tulus. “Tanpa jaringanmu, armada Nala hanya akan menjadi seekor macan tanpa taring.”
“Dan tanpa strategimu, armada kami hanya akan menjadi sekawanan kerbau yang berbaris menuju tempat pembantaian,” balas Zahira. Ia tersenyum tipis. “Kita adalah tim yang hebat.”
Kita adalah tim yang hebat. Kata-kata itu menggantung di udara, sarat akan makna yang lebih dalam, tentang kemungkinan-kemungkinan yang tidak akan pernah terjadi.
Dirgantara tahu ia tidak punya banyak waktu. Dari dalam jubahnya, ia mengeluarkan sebuah gulungan perkamen yang diikat dengan seutas tali sutra biru. Ia meletakkannya di atas meja di antara peta-peta laut Zahira.