Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #16

Badai di Ujung Selat

Armada kecil Laksamana Nala, yang kini menamai diri mereka Armada Pasukan Bayangan Laut, bergerak meninggalkan Palembang dalam keheningan malam. Mereka tidak berlaar dalam formasi yang megah, melainkan menyelinap satu per satu seperti para pemburu, lambung kapal mereka yang dicat gelap nyaris tak terlihat di atas air Sungai Musi yang hitam. Tidak ada obor, tidak ada panji-panji yang berkibar. Hanya ada desis air yang dibelah haluan kapal dan derit tiang layar yang sesekali terdengar, sebuah simfoni sunyi dari pasukan hantu yang berangkat menuju medan perang.

Bagi Dirgantara, yang berdiri di anjungan kapal komando Nala, perjalanan ini adalah sebuah antitesis dari arak-arakan megah menuju Bubat. Di sana, mereka berjalan di bawah tatapan ribuan orang, sebuah prosesi yang terang benderang menuju sebuah jebakan. Di sini, mereka bergerak dalam kegelapan total, menjadi sebuah jebakan itu sendiri. Ia merasakan ketegangan yang berbeda. Bukan ketegangan pasrah, melainkan ketegangan seekor predator yang sedang mengintai mangsanya.

Selama beberapa hari, mereka berlayar, mengikuti rute-rute rahasia di antara pulau-pulau kecil dan hutan bakau. Siang hari mereka habiskan bersembunyi di teluk-teluk terpencil, menutupi kapal mereka dengan dahan-dahan pohon dan jaring kamuflase. Malam hari mereka gunakan untuk bergerak, berlatih manuver-manuver senyap mereka dalam kondisi nyata. Ikatan di antara para awak kapal dan komandan mereka, Laksamana Nala, ditempa dalam kerahasiaan dan tujuan bersama ini. Mereka bukan lagi hanya prajurit Sriwijaya; mereka adalah sebuah keluarga yang terikat oleh takdir yang berbahaya.

Dirgantara dan Nala menghabiskan waktu berjam-jam di atas peta. Dengan Kujang Naga milik Ratna yang selalu terselip di pinggangnya, sebuah pengingat konstan akan keseimbangan yang harus ia jaga. Dirgantara menelusuri kemungkinan-kemungkinan taktis. Ia tidak lagi hanya memberikan saran; ia kini menjadi mitra penuh dalam merancang strategi pertahanan Selat Malaka. Ia mengajarkan Nala cara berpikir seperti musuh mereka, cara mengantisipasi gerakan lawan, dan yang terpenting, cara mengubah kelemahan terbesar mereka. Jumlah pasukan yang sedikit menjadi kekuatan terbesar mereka.

Lalu, pada hari kelima, saat mereka sedang berlabuh di sebuah pulau tak berpenghuni di dekat ujung utara selat, kabar pertama itu datang.

Sebuah perahu lesung kecil yang diawaki oleh dua orang Orang Laut muncul dari balik gugusan batu karang, meluncur di atas air tanpa suara. Mereka memberikan sinyal yang telah disepakati, dan Nala mengizinkan mereka merapat ke kapal komando. Salah satu dari mereka, seorang pria tua dengan kulit sekering kulit kayu, menyerahkan sebatang bambu yang tersegel kepada Nala. Di dalamnya ada segulung daun lontar yang tipis. Pesan dari Zahira.

Nala membacanya, dan wajahnya yang tadinya tenang kini mengeras. Tanpa berkata apa-apa, ia menyerahkan lontar itu kepada Dirgantara. Tulisannya singkat, namun bobotnya terasa lebih berat dari jangkar kapal mana pun.

“Mereka datang. Jumlah lebih dari empat ratus kapal. Dipimpin langsung oleh Rajendra Chola. Bergerak lambat, formasi arogan. Mereka memasuki mulut selat saat fajar.”

Lihat selengkapnya