Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #17

Kehormatan di Ambang Kehancuran

Langit di atas Selat Malaka yang biasanya biru cemerlang kini tampak kelabu dan berat, seolah ikut merasakan ketegangan yang mencekik. Di sebuah teluk tersembunyi yang terlindung oleh dinding-dinding batu granit, sisa-sisa dari armada utama Sriwijaya berkumpul. Kapal-kapal perang besar itu, yang selamat dari sabotase di galangan, tampak megah dan perkasa. Namun, di antara para komandan dan laksamana yang berkumpul di geladak kapal komando utama, Sang Naga Samudra, suasana terasa jauh dari perkasa.

Raja, dalam kebijaksanaannya, telah memerintahkan para laksamana senior untuk bergabung dengan Laksamana Nala, menciptakan sebuah dewan perang terpadu. Maksudnya adalah untuk menyatukan kekuatan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Ruang di geladak itu terasa sesak oleh ego yang terluka dan kebencian yang tak terucap. Laksamana Yudhakara, pria tua yang kumisnya melintang angkuh, berdiri bersama para komandan sepuh lainnya. Mereka menatap Nala dengan tatapan dingin, dan melirik Dirgantara yang sengaja berdiri diam di latar belakang, seolah ia adalah seekor ular berbisa yang menyelinap masuk ke dalam rumah mereka.

Di tengah-tengah geladak, sebuah peta besar dari kulit rusa dibentangkan, menunjukkan posisi terakhir armada Chola yang dilaporkan oleh para pengintai Orang Laut. Tanda-tanda merah yang mewakili ratusan kapal musuh tampak seperti noda darah yang menyebar, perlahan-lahan merayap turun mendekati jantung Sriwijaya.

Laksamana Yudhakara adalah yang pertama memecah keheningan. Ia menggebrak meja peta dengan kepalan tangannya, membuat bidak-bidak kayu yang menandai kapal mereka sendiri bergetar.

“Cukup bersembunyi!” aumnya, suaranya serak oleh amarah yang tertahan. “Kita adalah keturunan para naga laut! Bukan sekawanan tikus yang bersembunyi di selokan! Musuh telah memasuki perairan kita, menghina panji-panji kita. Kehormatan menuntut kita untuk menyambut mereka di lautan terbuka. Kita akan berbaris dalam Barisan Garuda Perkasa, menunjukkan pada mereka kekuatan sesungguhnya dari Sriwijaya, dan menenggelamkan mereka semua ke dasar laut!”

Beberapa laksamana tua lainnya mengangguk setuju, gumaman persetujuan menyebar di antara mereka. Rencana itu terdengar heroik, agung, dan sesuai dengan semua kisah kemenangan yang terukir di dinding-dinding istana. Itu juga merupakan sebuah rencana bunuh diri.

Laksamana Nala, yang sejak tadi berdiri tenang, akhirnya melangkah maju. Ia tidak menunjukkan rasa takut atau keraguan di hadapan para seniornya.

“Dengan segala hormat, Gusti Laksamana,” katanya, suaranya mantap dan jelas. “Barisan Garuda Perkasa adalah taktik yang brilian untuk melawan armada yang setara. Melawan armada yang jumlahnya empat kali lipat dari kita, itu hanyalah sebuah cara terhormat untuk mati.”

Dirgantara, melalui Nala, bersikeras pada strategi gerilya laut yang telah mereka rancang. Nala menunjuk ke sebuah selat sempit di peta, di antara dua pulau kecil. “Musuh memang banyak, tapi mereka arogan. Mereka berlayar seolah lautan ini milik mereka. Mereka pasti akan mengirimkan pasukan terdepan mereka melalui selat ini sebagai jalan pintas. Di sinilah kita akan melancarkan serangan pertama.”

Ia menjelaskan rencananya: mengirim beberapa kapal kecil sebagai umpan untuk memancing Armada Pasukan  Chola masuk lebih dalam ke selat yang berkelok. Di sana, Armada Pasukan Bayangan Laut akan menunggu dalam persembunyian, bukan untuk bertarung, melainkan untuk melepaskan kapal-kapal api yang telah mereka siapkan. “Kita akan serang dan lari,” jelas Nala. “Kita manfaatkan selat sempit ini untuk melumpuhkan barisan depan mereka, menciptakan kekacauan, dan merusak moral mereka tanpa harus kehilangan satu pun prajurit kita.”

Para laksamana senior menatapnya dengan pandangan jijik.

Lihat selengkapnya