Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya

Kingdenie
Chapter #18

Tarian Umpan Api

Perintah telah diberikan. Keheningan yang tegang di atas geladak kapal komando pecah menjadi aktivitas yang cepat dan teratur. Para perwira meneriakkan perintah yang diteruskan dari kapal ke kapal melalui sinyal bendera dan dentuman genderang yang terkendali. Di bawah kepemimpinan Laksamana Nala yang kini tak terbantahkan, armada Sriwijaya yang tadinya terpecah belah kini bergerak sebagai satu kesatuan yang utuh, sebuah naga laut raksasa yang terbangun dari tidurnya, siap untuk bertempur.

Namun, mereka tidak bergerak maju untuk menyambut musuh secara langsung. Sebaliknya, sebagian besar armada utama tetap bersembunyi di teluk terlindung itu, menjadi sebuah ancaman terselubung. Sesuai rencana Dirgantara, pertempuran ini tidak akan dimulai dengan auman naga, melainkan dengan tarian lincah dari ikan-ikan kecil.

Lima kapal peronda dari Armada Pasukan Bayangan Laut, unit yang telah dilatih secara rahasia oleh Nala dan Dirgantara, melepaskan diri dari formasi utama. Kapal-kapal itu kecil, ramping, dan sangat cepat. Di bawah komando Jaka, prajurit muda yang cerdas, mereka berlayar keluar dari teluk menuju lautan terbuka. Misi mereka adalah sebuah tugas yang nyaris bunuh diri: menjadi umpan. Mereka harus terlihat, menarik perhatian, dan memancing sebagian dari armada Chola yang perkasa untuk mengejar mereka.

Dirgantara berdiri di anjungan tertinggi kapal komando Naga Samudra di samping Nala, mengamati kelima kapal itu melalui sebuah teropong perunggu yang dipoles dengan baik. Dari kejauhan, kapal-kapal itu tampak seperti serpihan kayu yang rapuh di atas lautan yang luas dan tak ramah. Di dalamnya ada para prajurit muda, orang-orang yang beberapa hari lalu ia lihat berlatih dengan semangat di anak sungai yang gelap. Kini, mereka sedang berlayar menuju mulut monster. Beban tanggung jawab terasa berat di pundak Dirgantara. Strategi di atas peta terasa begitu bersih dan logis; namun realitasnya adalah nyawa-nyawa manusia yang sedang ia pertaruhkan.

“Mereka adalah yang terbaik dari yang terbaik,” kata Nala pelan, seolah bisa merasakan kegelisahan Dirgantara. “Mereka tahu tugas mereka. Mereka tidak akan gagal.”

Mereka menunggu. Penantian itu adalah sebuah siksaan tersendiri. Matahari mulai naik lebih tinggi, membuat permukaan laut berkilauan menyilaukan. Laporan-laporan dari para pengintai Orang Laut terus berdatangan, mengabarkan bahwa barisan terdepan armada Chola, sekitar tiga puluh kapal perang kini hanya berjarak beberapa jam pelayaran dari posisi mereka. Sesuai prediksi Dirgantara, mereka berlayar dengan formasi yang terlalu percaya diri, sedikit terpencar, seolah sedang berlayar di perairan mereka sendiri.

Lalu, sinyal itu datang. Sebuah kepulan asap tipis dari salah satu puncak pulau terdekat, tanda dari pengintai bahwa sang umpan telah terlihat oleh musuh.

Melalui teropongnya, Dirgantara bisa melihatnya. Armada Chola di cakrawala tampak seperti sebuah kota terapung yang mengerikan. Di barisan terdepan mereka, beberapa kapal yang lebih cepat mulai mengubah haluan, melepaskan diri dari formasi utama. Mereka telah melihat kelima kapal Sriwijaya itu. Mereka telah menelan umpannya.

Lihat selengkapnya